Sutradara dari Jerman, Gadis Gresik Jadi Bintang Film Girls for Future

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Sutradara dari Jerman, Gadis Gresik Jadi Bintang Film Girls for Future


JawaPos.com– Aeshnina Azzahra Aqilani agaknya makin jadi perbincangan para pegiat lingkungan dunia. Termasuk di event rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Inggris, 1-12 November. Maklum, pelajar SMPN 12 Gresik, itu menjadi satu bintang di film Girls for Future.

Film tersebut digarap Irja von Bernstorff asal Jerman. Perempuan muda yang telah meraih sejumlah penghargaan. Terutama film-film dokumenter. Beberapa di antaranya The Farmer and I sebagai pemenang film dokumenter terbaik di Festival Film Internasional Polandia dan di Hollywood International Independent Documentary Awards.

Di film berdurasi 1 jam 28 menit itu ada empat gadis remaja sebagai pemeran utama. Mereka semua berusia antara 11-14 tahun. Salah satu di antaranya adalah Nina, panggilan Aeshnina Azzahra Aqilani, dari Wringinanom, Gresik. Tiga gadis lainnya dari Senegal, Australia, dan India. ‘’Syuting filmnya pada akhir 2019 lalu. Sebelum pandemi Covid-19. Tapi, baru diputar beberapa bulan ini,’’ ujar Nina kepada JawaPos.com, Jumat (12/11).

Syuting film oleh kru media DW, televisi asal Jerman, itu juga mengambil setting SMPN 12 Gresik, sebagai salah satu tempatnya. Selain itu, di tempat tinggal Nina di sebuah rumah yang menghadap Kali Surabaya di wilayah Wringinanom. ‘’Lama syuting kira-kira10 hari. Termasuk di Jakarta ketika menemui Dubes Jerman di Indonesia,’’ ungkapnya.

Tentu saja, Nina tidak menyangka bisa menjadi bagian dari film besutan sutradara asal Jerman tersebut. Yang terpenting lagi, dirinya juga bisa menyuarakan tentang stop sampah plastik demi masa depan anak-anak melalui film tersebut. Dia pun berharap suara itu didengar dan direspon para pemangku kebijakan.

Film Girls for Future tersebut mengikuti empat gadis remaja itu saat mereka berjuang demi masa depan yang lebih baik. Mereka semua terkena dampak langsung dari kerusakan lingkungan. Polusi udara hingga kekurangan air dan konsekuensinya.

Di Senegal, Fatou yang berusia 14 tahun harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengambil air. Karena itu, dia memiliki sedikit waktu untuk belajar ke sekolah. Kurangnya akses ke air mempengaruhi 2 miliar orang di seluruh dunia.

Di Punjab, India, sosok Gagan yang berusia 12 tahun menghadapi dampak fatal dari pertanian industri. Pembakaran sisa tanaman di ladang menyebabkan polusi udara yang sangat besar, dan penggunaan pupuk kimia merusak tanah. Di Australia, Sabyah yang berusia 12 tahun menyaksikan bagaimana terumbu karang terbesar di dunia, Great Barrier Reef, telah kehilangan lebih dari setengah karangnya. Hal itu terkait dengan industri batu bara di Australia, negara pengekspor terbesar kedua bahan bakar yang paling merusak iklim ini.

Adapun di Indonesia, Nina yang berusia 14 tahun, di sekelilingnya menghadapi masalah gunungan sampah plastik. Tidak hanya negara Nina. Tapi, seluruh Asia Tenggara telah menjadi tempat pembuangan bagi negara-negara industri Barat.

Krisis iklim global memiliki banyak segi dan kompleks. Ketika media atau pejabat pemerintah berbicara tentang solusi yang mungkin, sering digambarkan begitu rumit. Karena itu, hampir tidak dapat diimplementasikan. Namun, dalam film dokumenter tersebut, empat gadis remaja itu masing-masing menemukan cara untuk melindungi dan memulihkan iklim.

Dalam rangkaian COP 26 lalu, Film Girls for Future tersebut juga diikutkan dalam Festival Film Krisis Iklim (CCFF). Sebuah festival film aksi iklim pertama di Inggris bahkan di dunia. Dalam festival itu ditayangkan banyak film dari lebih 30 negara. Film-film luar biasa itu bisa diakses gratis di climatecrisisff.co.uk.


Sutradara dari Jerman, Gadis Gresik Jadi Bintang Film Girls for Future