Tengsoe Tjahjono dan Perayaan Eksistensi Kampung Pentigraf Indonesia

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tengsoe Tjahjono dan Perayaan Eksistensi Kampung Pentigraf Indonesia


Bentuk-bentuk tulisan fiksi terus berkembang. Bagi yang sulit menulis berpanjang-panjang, mereka bisa mencoba menulis dengan lebih singkat. Kampung Pentigraf Indonesia (KPI) melakukan hal tersebut sejak lima tahun lalu. Terus menyebarkan semangat menulis kepada siapa saja.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya

Pulanglah, pulang

Rapatkan syal di leher

Jangan biarkan angin

Menerkammu

KIDUNG yang dibawakan duo Splendid Dialog menemani rebas-rebas yang membanjur di Warung Joglo Jati siang itu (14/11). Penampilan musik puisi yang syairnya digubah dari teks puisi berjudul Menunggu karya Tengsoe Tjahjono itu diiringi pula dengan pembacaan puisi Makrifat Rindu milik Djoko Saryono.

Tetapi, bukankah rindu sejati itu kekukuhan lelaki berpuas diri menikmati pantai yang selalu disimbur kecipak ombak, dan tak hendak memandang deburan ombak berkejaran di laut yang tercipta dari rayu wanita selainmu?

Djoko begitu khidmat membacakan puisinya sendiri.

Tatapan matanya berpindah-pindah antara bait-bait puisi yang tercatat di ponsel yang digenggamnya di tangan kiri dan para penonton di hadapannya. Tangan kanannya bergerak mengiringi kata-kata yang dibawakan penuh hayat layaknya penyair yang menyatakan cinta kepada sang kekasih.

Penampilan Splendid Dialog featuring Djoko Saryono bersahut-sahutan pula dengan nyanyian para penonton. Mereka adalah para pentigrafis yang merayakan ulang tahun Kampung Pentigraf Indonesia (KPI).

Siapa yang kau tunggu?

Siapa yang kau tunggu?

Begitulah suasana peringatan lima tahun berdirinya KPI. Akrab, syahdu, dan hangat. Tiap orang tampak menikmati pembawaan karya dan meresapi diskusi sastra kala itu. Ulang tahun komunitas penulis cerita pendek tiga paragraf (pentigraf) yang diperingati setiap 7 Juni tersebut baru bisa dilaksanakan akhir pekan lalu, setelah tertunda karena kondisi pandemi.

Adalah Tengsoe Thahjono, sang penggagas pentigraf. Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu membikin pentigraf sejak 1980-an dan menyebarkannya lewat koran Suara Indonesia.

Tahun lantas berganti, pola komunikasi berubah. Pada 2015 Tengsoe memamerkan pentigraf-pentigrafnya di akun Facebook miliknya. Rupanya, tulisan itu menarik minat banyak orang.

Karakteristik pentigraf terdiri atas tiga bagian; pendahuluan, inti/isi, dan penutup. Tiga bagian itu tak selalu berurutan. ’’Bisa juga misalnya penutup dulu, baru pendahuluan, lalu isinya di belakang. Tapi, pada intinya, tiga struktur itu tidak bisa dihilangkan dari pentigraf,” papar Tengsoe seusai acara.

Dalam tiga struktur tersebut, pentigraf memuat enam elemen, yakni latar, alur, tokoh, tema, konflik, dan sudut pandang. Setiap paragraf hanya boleh membuat satu kalimat langsung. Satu pentigraf dibatasi maksimal 210 kata. Makin pendek, makin baguslah pentigraf itu.

Jenis fiksi yang padat tapi bermakna tersebut disukai berbagai kalangan hingga terbentuklah KPI pada 2016. Komunitas itu terbentuk lewat diskusi-diskusi di laman Facebook dan tetap eksis hingga sekarang. Lewat komunitas digital itu, para anggota saling mengunggah dan membahas pentigraf masing-masing. Terkadang diadakan pula pelatihan menulis pentigraf. Hingga saat ini, telah diterbitkan enam kitab pentigraf, sebutan lain dari para anggota KPI atas buku kumpulan pentigraf.

Tengsoe menjadi kurator sekaligus salah satu penulisnya. Dalam kitab pentigraf keenam yang berjudul Nama-Nama yang Dipahat di Batu Karang misalnya, mantan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur itu menulis pentigraf berjudul Jalan Tobat dan Sang Pemurah. Keduanya bercerita tentang kepahlawanan petugas kebersihan di mata lingkungan sekitarnya. Selain Tengsoe, ada banyak nama yang turut menulis dalam kitab pentigraf tersebut. Di antaranya, Eka Budianta dan Yusri Fajar.

Djoko Saryono menilai eksperimen karya dan gerakan komunitas sastra di Indonesia sangat beragam. Namun, seiring cepatnya ia lahir, ketika mati pun ia tak kalah cepat. Namun, menurut Djoko, KPI dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Tengsoe yang kemudian diiringi dengan semangat bertumbuh dari para anggotanya.

’’Sekarang ini zamannya ‒kalau kata lagu dangdut itu‒ los dol. Kreativitas dan komunitas bergerak begitu bebas dan nyaris tanpa halangan. Tetapi, semuanya juga bergantung bagaimana kita merawat itu semua,” papar Djoko.

Pentigraf dinilai lebih sederhana dan mudah dibuat. Setidaknya, itulah yang dirasakan Nurul Khurriyah, kepala SMP Islam Krembung, Sidoarjo. Mahasiswa doktoral Pendidikan Bahasa dan Sastra Unesa itu kini mempelajari pentigraf. Dia berencana mengajarkan cara menulis pentigraf kepada anak-anak di sekolah yang dirinya pimpin serta SMK Islam Krembung, tempatnya bekerja. ’’Ini alternatif untuk mengekspresikan diri ke dalam bentuk karya. Ketika para siswa itu bisa mengaktualisasikan diri, rasa percaya diri mereka akan tumbuh,” ujar perempuan yang hobi menulis puisi dan esai itu.


Tengsoe Tjahjono dan Perayaan Eksistensi Kampung Pentigraf Indonesia