Wiwit Manfaati, Upaya Bertahan Mengolah Enceng Gondok

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Wiwit Manfaati, Upaya Bertahan Mengolah Enceng Gondok


Wiwit Manfaati adalah potret pejuang ekonomi. Dia mengubah barang tak berharga menjadi bernilai. Ketelatenannya bahkan melahirkan pejuang-pejuang baru. Tak menyerah saat dihantam pandemi.

UMAR WIRAHADI, Surabaya

RUANG tamu berukuran 7 x 4 meter itu seperti tempat pameran saja. Ruangan dipenuhi deretan hasil kerajinan tangan. Tertata rapi di atas rak kayu setinggi 1,5 meter. Jenisnya beragam. Ada tas, topi, keranjang, tempat piring, hiasan lampu, hingga lemari. ”Semuanya berbahan enceng gondok,’’ tutuWiwit Manfaati adalah potret pejuang ekonomi. Dia mengubah barang tak berharga menjadi bernilai. Ketelatenannya bahkan melahirkan pejuang-pejuang baru. Tak menyerah saat dihantam pandemi.r Wiwit Manfaati kepada Jawa Pos kemarin (9/11). ”Bahkan, kursi tempat sampean (penulis, Red) duduk itu juga dari enceng gondok,’’ sambungnya, lalu tersenyum.

Rumah itu terletak di kompleks Kebraon Indah Permai Nomor D-45. Sudah beberapa tahun ini rumah bercat putih tersebut dijadikan tempat produksi. Berbagai peralatan dan bahan baku enceng gondok juga disimpan di situ. Keluarga menempati rumah sendiri yang letaknya berdampingan dengan lokasi workshop.

”Alhamdulillah, semua dari hasil usaha enceng gondok,’’ tutur Wiwit.

Keahliannya mengubah limbah menjadi kerajinan tangan dengan nilai jual tinggi bukan suatu kebetulan. Itu berawal ketika suaminya, Supardi, terkena PHK. Usaha yang digeluti suaminya kala itu juga bangkrut. Hingga terlilit utang.

Dari sana, takdir baik mengubah hidup Wiwit. Awalnya, perempuan tersebut mengikuti pelatihan yang digelar Persatuan Istri Purnawirawan (Perip) Jatim pada 2007. Saat itu, mereka memberikan pelatihan bagi keluarga miskin (gakin). Materinya memang terkait kerajinan tangan menganyam enceng gondok.

Pelatihan itu berlangsung sepuluh hari. Pulang dari pelatihan, Wiwit langsung mempraktikkan ilmu yang didapat dari sang instruktur.

Dia berusaha membuat tas, tapi selalu gagal. Namun, ibu tiga anak itu pantang menyerah. Dia terus berlatih membuat tas dari bahan enceng gondok. Barulah pada percobaan ke-10, hasil kerajinan tangan yang dibuatnya sudah lebih baik. Salah seorang tetangganya pun memuji tas rajutan kreasi Wiwit. ”Dapat pujian itu senang sekali. Saking senangnya, saya langsung memberikan tas itu. Rasanya (pujian, Red) lebih berharga daripada uang,’’ tutur Wiwit, lalu tersenyum.

Dari sanalah, upayanya untuk membuat kerajinan tangan berbahan enceng gondok terus diasah. Lambat laun handicraft produksi Wiwit semakin dikenal luas. Bahkan pada 2010, dia diberi stan gratis oleh Dinas Perdagangan (Disdag) Surabaya di sejumlah mal. Itu bentuk upaya pemkot dalam memberdayakan pelaku UMKM agar bisa naik kelas.

Namun, usaha itu tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada tantangan. Ketika diberi tempat pemasaran selama enam bulan, tas hasil rajutannya tidak begitu laku. ”Bayangkan selama enam bulan, hanya satu yang laku,’’ tuturnya.

Kondisi itu membuatnya mengevaluasi diri. Sebetulnya, lanjut dia, bukan konsumen tidak mau membeli. Tapi, warga enggan membeli karena desain produk tidak variatif sehingga tidak menarik minat pembeli. Dari sana, ibu tiga anak itu terus berkreasi. Menghasilkan lebih banyak varian produk. Sentuhan motifnya juga lebih ramai.

Kini, handicraft kreasi Wiwit sudah go international. Bagaimana tidak. Kerajinan tangannya sudah merambah pasar luar negeri. Wiwit beberapa kali melayani permintaan dari luar negeri. Misalnya, Arab Saudi, Tiongkok, Australia, Belanda, dan Jepang. ’’Ini yang saya kirim langsung maupun lewat eksporter,’’ tuturnya.

Namun, jatuh bangun dalam berwirausaha adalah hal biasa. Terutama selama pandemi Covid-19 melanda. Wiwit mengakui pemasukan kosong melompong. Permintaan konsumen nihil. Itu dirasakan sejak Mei–November 2020. ”Saat itu pemasukan nol sama sekali. Terpaksa saya hidup pakai uang tabungan. Tapi, apa pun harus disyukuri,’’ sambungnya.

Namun, bukan Wiwit Manfaati namanya kalau cepat menyerah. Perempuan berkerudung itu percaya selalu ada kesempatan di setiap kesempitan. Nah, selama pandemi, dia memanfaatkan untuk lebih banyak berkontemplasi. Dia berlatih untuk menciptakan desain dan produk-produk baru.

Hasil produksinya diberi sentuhan motif. Misalnya, tas enceng gondok diberi hiasan bunga kering. Dengan begitu, tampilannya menjadi lebih kasual. Ada juga yang dilukis, disulam, dirajut, hingga ditempeli kerang di bagian permukaan. ”Pokoknya tampil beda. Ini hasil kreasi selama pandemi,’’ paparnya.

Pelan-pelan tingkat penjualan kembali merangkak naik pada Desember 2020 sampai awal 2021. Namun, usaha itu kembali diterjang gelombang kedua Covid-19. Permintaan kembali sepi pada Mei–Agustus lalu. Kini, pelan-pelan penjualan kembali terkerek. ”Sekarang mulai menuju normal,’’ tambahnya.


Wiwit Manfaati, Upaya Bertahan Mengolah Enceng Gondok