Mereka Punya Cara Mengenang Sastrawan Budi Darma

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Mereka Punya Cara Mengenang Sastrawan Budi Darma


Sudah lebih dari sepekan sastrawan sekaligus guru besar Unesa Budi Darma tutup usia. Namun, kenangan terhadapnya masih sangat kuat hingga menggerakkan orang-orang untuk berbuat lebih.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya

DULU kan saya minta mbok sekali tempo kirim puisi. Membaca puisi bisa membikin ayem. Dulu saya pernah sekali tempo dikirimi, sudah terlaksana, lalu berhenti,” keluh (almarhum) Budi Darma kepada Tengsoe Tjahjono pada 8 April 2020. Pesan tersebut merupakan balasan dari Budi setelah Tengsoe mengirimi puisinya yang berjudul Air Mata Puisi via WhatsApp.

Meski lebih sering menulis prosa, rupanya Budi pun gandrung membaca puisi. Apalagi jika puisi itu ditulis Tengsoe, sastrawan yang kerap melahirkan puisi dan kritik sastra. Sebagai sesama penulis sekaligus kolega di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tentu saja hubungan Tengsoe dengan Budi begitu erat. Kenangan manis terhadap sosok Budi membuat Tengsoe berinisiatif mengabadikannya lewat sebuah buku.

Bukan hanya sendiri, dia juga mengajak banyak orang untuk menuliskan esai tentang Budi. Esai-esai tersebut berisi kenangan setiap orang atas interaksi literer, akademik, maupun sosiokultural dengan sosok Budi Darma. Beberapa tokoh berkomitmen turut serta dalam penulisan kumpulan esai itu. Di antaranya, Jaya Suprana, Denny J.A., dan Djoko Saryono.

Sosok Budi, bagi penggagas pentigraf tersebut, adalah orang yang tidak terpaku pada apa yang biasa dituliskannya saja. Buktinya, selain suka membaca puisi, Budi gemar membaca pentigraf milik Tengsoe. ”Dia (Budi) itu biasa menulis cerpen (cerita pendek) sangat panjang. Tetapi, dia bisa menerima jenis-jenis karya sastra yang lain, yang tidak harus seperti karakter tulisan dia,” kata Tengsoe.

Dia tidak akan lupa, hobi Budi membaca puisi membuatnya aktif menulis puisi hampir setiap hari. Misalnya, puisi Membuka Pagi yang dituliskannya pada 2019;

Bismillah, aku buka jendela

Tak ada gunung-gunung, hanya ketemu gedung-gedung

Matahari tenggelam dan mencair

Menyungai di jalan-jalan

Pagi sekarang

Begitu sibuk

Tanpa matahari

”Terima kasih. Puisi ini sangat menyejukkan.” Begitulah Budi membalas puisi. Selalu rendah hati.

*

Kami menangisi pasti

Jika biji tidak mati

Ia tak berbuah berlipat kali

Jadilah pendoa bagi kami

Agar duniamu selama ini

Tumbuh seribu kali

Penggalan puisi Biji Mati Buah Seribu Kali karya Gemblung G. Adiluhung itu sudah tersebar dan dikutip berbagai media massa. Puisi tersebut ditulis Gemblung, penulis yang bernama asli Budinuryanta. Dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unesa itu spontan menulis puisi sebagai bentuk belasungkawa atas kepergian Budi. Dia mengirimkan puisi tersebut ke grup-grup WhatsApp hingga viral dan digunakan Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Unesa sebagai bagian dari rilis media.

Dulu, saat Gemblung masih sering mengirimkan tulisan ke koran-koran, Budi Darma sempat bertanya. ”Anda ini fokus pada linguistik atau sastra?” tanya Budi kala itu. ”Ketika saya menjawab bahwa saya fokus pada ilmu kebahasaan, Pak Budi berkomentar, ’Oh, pantas, tulisannya lebih banyak soal bahasa’,” jelas Gemblung menirukan gaya bicara Budi.

*

Diani Savitri kini disibukkan menjual baju-baju miliknya. Baju-baju itu dijual demi membeli buku-buku karya Budi Darma. Beberapa temannya ikut menyumbang baju yang seluruh hasil penjulannya dirupakan dalam donasi buku.

Menurut Vivi, sapaan akrab Diani Savitri, baju adalah barang yang paling tepat untuk diresirkulasikan. Baju yang berpindah tangan tanpa proses daur ulang memiliki risiko lebih kecil terhadap kerusakan lingkungan.

Beberapa buku Budi yang telah dibelinya untuk donasi adalah Orang-Orang Bloomington, Kritikus Adinan, Rafilus, dan Pengantar Teori Sastra. Vivi hanya mendonasikan buku-buku tersebut kepada orang-orang di luar Jawa atau ke desa-desa di Jawa yang akses masyarakatnya terhadap buku-buku sastra masih kurang.

 


Mereka Punya Cara Mengenang Sastrawan Budi Darma