Kecoak Kepekaan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kecoak Kepekaan


Di kafe, membedakan mana orang pacaran dan mana suami istri gampang. Membedakan mana penegak hukum dan mana penegak benang basah jauh lebih susah. Yang ngobrolnya penuh gairah, itu yang pacaran. Yang banyak diamnya, masing-masing main HP, kalaupun ngobrol cuma sambil lalu, nah itu yang suami istri!

PASANGAN laki bini ini perkecualian. Di kafe Sasancuk, Salam Satu Jancuk, gairah mereka meluap-luap. Sambil bicara, satu tangan yang perempuan merentang-rentang. Tangan lainnya mengambil makan banyak-banyak. Yang laki-laki, walau terkadang sedikit kikuk, seperti tak ada ganjalan, sama sekali tak menampakkan mental umumnya pegawai.

Merekalah sejoli Sastro-Jendro.

Bila dizoom dan pakai mikrofon laser terarah jarak jauh superpeka, salah satu obrolan mereka begini… sangat TikTok-able… bahkan pori-pori mereka pun terterawang:

”Kamu sudah kuselingkuhi, tapi, kok, nggak menghukumku berat-berat?”

Jendro tersenyum, mengetuk-ngetukkan sendok di piring, tersenyum dan memandangi ketukannya sendiri.

”Kenapa kamu tidak bikin vonis berat untukku, padahal sudah kuselingkuhi sangat jauh?” Sastro mengulang-ulang terus pertanyaannya. Rona wajahnya menunjukkan niatan minta maaf yang tanpa penjilatan.

Jendro mengunyah sei sapi, matanya ke mata Sastro, kemudian senyum, ”Kenapa aku tidak menghukummu berat-berat, padahal kamu sudah korupsi cinta? Sebaaaab… sebab kamu sudah menderita, Mas. Mantan selingkuhanmu menghinamu. Suaminya mencercamu. Anak-anak mereka mencaci makimu!”

”Jadi, sekarang vonismu apa?”

”Engkau kuvonis bebas, Mas! Malah tak bonusi. Besok tak carikan istri muda!”

***

Dunia penuh kenyataan. Dizoom itu ternyata bukan cuma pengandaian. Pelakunya betul-betul nyata. Dia anak muda jomblo tiga periode yang selalu benci bila menyaksikan pasangan. Diunggahnya itu di TikTok.

Sastro-Jendro tidak protes atas unggahan konten tanpa izinnya. Jutaan orang, mungkin hampir seluruh warga Nusantara, bahkan tak henti-henti memuji keduanya. Ada yang via TikTok itu sendiri. Ada yang via saingannya, reels Instagram. Bahkan ada yang via mural. Banyak yang memuji ketulusan Sastro untuk meminta maaf. Lebih banyak lagi yang memuji Jendro.

”Ibu sungguh-sungguh seorang perempuan yang legawa…”

”Mama Beta ini sing ada lawan….”

”Horas, Bu! Horas, Bu!”

”Salamaik, Uni!”

”Ibu betul-betul pendekar bangsa… pendekar kaumku… untuk mengampuni…”

”Wahai Ibu kita, putri yang mulia…”*

Sastro-Jendro senyam-senyum melulu membaca jutaan komen di medsos. Yang protes malah Bansos. Ini nama kecoak kesayangan mereka. Satu-satunya kecoak yang tidak mereka binasakan, baik dengan obat-obatan maupun vacuum cleaner. Mungkin karena Bansos imut-imut. Sayapnya merah-putih, tapi ada biru-birunya juga seperti bendera Belanda. Eh, bendera Belanda apa Rusia, ya? Atau Paraguay? Ah, embuh!

”Pokoknya, unggahan di TikTok itu menyinggung diri saya, diri Bansos!” jerit Bansos dengan kaki menepuk-nepuk dadanya. Sungutnya berputar kian kemari bagai antena yang sedang diarah-arahkan tidak untuk kebaikan bersama, tapi hanya untuk kebaikan gambar KPK di televisi. ”Koruptor Bansos divonis ringan sebab sang koruptor dan keluarganya sudah sangat menderita saban saat dihina-dina oleh masyarakat luas.”

Puluhan lembaga survei membantah kecoak merah-putih kebiruan itu. Tak satu pun warga Nusantara yang merasa bahwa unggahan dialog Sastro-Jendro di kafe Sasancuk itu menyindir pengadilan korupsi Bansos.

”Bila kelak dialog rakyat yang diwakili suami istri bagai orang pacaran itu akan mengilhami vonis pengadilan, monggo. Dari zaman ke zaman memang begitu. Tarian-tarian rakyat di pasar-pasar, di pesisir-pesisir, diserap oleh seniman keraton, dipercanggih, diperhalus, jadi bedoyo, srimpi…Itu biasa,” komentar sejarawan atas hasil survei lembaga-lembaga langganan pilkada itu.

***

Pasangan Sastro-Jendro sudah membintang. Mereka balik lagi ke kafe Sasancuk di bumi.

”Menurutku Bansos sudah menjadi kecoak yang kebablasan… terlalu peka, Mas. Bahaya!”

”Setuju. Kita harus mencari booster penurun kepekaan. Rakyat peka, negara hancur!”

”Booster yang seperti vaksin ketiga buat Covid, Mas?”

Sastro mengangguk penuh gairah. Matanya mencuri pandang ke sekeliling seperti khawatir ada yang menguping. Jendro juga penuh gairah, walau tetap menahan diri agar tak tampak meluap-luap. Maklum, mereka sadar diri bahwa kini sudah menjadi pesohor. Gerak-geriknya dikuntit banyak jiwa.

Musik kafe beralih ke Mendung tanpo Udan karya Kukuh Prasetya Kudamai:

Awak dewe nduwe bayangan

Mbesok yen wis wayah omah-omahan

Aku moco koran sarungan

Kowe belonjo dasteran

Nanging saiki wis dadi kenangan

Aku karo kowe wis pisahan…

”Tidak! Kami tak terpisahkan!” seluruh pengunjung kafe berseru sembari peluk-pelukan dengan pasangannya persis Sastro-Jendro.

Jendro berseru colongan ke suaminya, ”Apa Bansos termasuk kalangan yang berhak dapat booster vaksin agar perasaannya tidak terlalu peka… Ibarat vaksin untuk Covid… Itu kan cuma buat kalangan tertentu saja. Hanya buat nakes, bumil, dan orang-orang dengan komorbid yang belum pernah divaksin. Kamu akan mencari jalan pintas?”

Sastro susah menjawabnya, seperti susahnya kini membedakan mana di kafe itu yang baru pasangan pacaran dan mana yang sudah suami istri. (*)

(*Maaf untuk W.R. Supratman)

SUJIWO TEJO, Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers


Kecoak Kepekaan