Perjamuan Musim Panas

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Perjamuan Musim Panas


Riksha yang dipesankan Jiro sudah sampai di muka gerbang restoran yang kusambangi bersamanya dan Wakamatsu di Aoishi–Yokocho. Malam sudah larut. Aku hanya menenggak tiga kali sake yang disuguhkan para geisha, berketetapan bahwa aku tak ingin mabuk dan ambruk lantaran setelah ini Jiro dan Wakamatsu pasti membawaku ke tempat aneh-aneh.

KALAU kesadaranku tinggal setengah, bakal sulit bagiku melarikan diri setelah kami sampai suatu tempat. Itu sebentuk pertahanan diri yang telah kuperam sedari mula aku berkawan dengan dua temanku ini. Mereka sangat senang berpesiar dan menghabiskan waktu di luar dan aku selalu tak dapat menolak tiap kali mereka ajak.

Selama hiburan disuguhkan para geisha, hanya aku yang menegaskan tak ingin dihibur larut-larut dan terjerumus kebahagiaan sementara karena pengaruh sake. Maka dari itu, aku menahan hanya meminum beberapa cangkir yang disuguhkan para geisha. Sedangkan Wakamatsu dan Jiro menghamburkan diri ke arah para geisha, seperti hanyut dalam pikat sihir. Aku merasa malam itu sangat panas sekali hawanya. Minum sake di tengah malam yang begini ini membuat tenggorokan seperti dijepit kepiting kecil. Seperti disekat dan membuat tenggorok kering. Selain berhati-hati bagi kemungkinan utama aku tak memutuskan mabuk, alasanku sedikit saja menghirup sake, juga karena malam musim panas begini. Meski bulan bersinar terang dan indah, tetap saja keringat dan kegaduhan para geisha yang menenggelamkan kawan-kawanku yang sudah mabuk itu terasa menjengahkan.

Ini adalah perjamuan terakhir kami sebelum perkawanan bubar. Jiro bakal kawin dengan perempuan yang dijodohkan padanya. Setelah kedua pihak setuju lewat proses miai yang tak berbelit-belit, kedua pihak itu akan melangsungkan pernikahan antara Jiro dan perempuan yang dikawininya di kuil kampung halaman Jiro. Ia akan meninggalkan Tokyo.

Lalu, aku akan bekerja di lembaga pemerintah. Dan Wakamatsu menjadi guru di daerah pelosok. Pilihannya kuanggap sebagai jalan seorang wira. Memang selama menempuh pendidikan di universitas Wakamatsu orang yang senang menghabiskan waktu di luar dan jarang menghadiri kuliah, namun otaknya encer. Ia memiliki karisma luar biasa dan disenangi gadis-gadis. Di tempat kos, Wakamatsu selalu membawakan cerita-cerita menarik tentang hubungan asmaranya. Dan ada saja masalah dengan gadis setiap pekannya; dan itu salah satu hiburan kami. Keputusan Wakamatsu awalnya membikin kami tercengang. Kami mengatakan untuknya memikirkan ulang perkara itu. Namun, ia sudah memutuskan akan menjadi guru daerah terpencil. Itu tak bisa diganggu gugat.

Di hari-hari itu, banyak orang datang ke Stasiun Shimbashi untuk merayakan kemenangan pasukan Jepang atas Rusia di Manchuria. Jenderal Nogi yang terkenal telah kembali membawa kemenangan. Dan orang-orang Jepang berkumpul di stasiun untuk menyambut para tentara. Jiro mengajakku melihat arak-arakan pasukan Jepang yang mukanya pucat, seragamnya lusuh, dan tatapannya hampa. Pemandangan itu memberiku kegelisahan dan rasa malu. Bahkan bagiku yang dijuluki kaum glamor senang menghabiskan waktu untuk bergembira ria, menyaksikan orang-orang senegeri pulang dari perang, tak menerbitkan rasa patriotik sekalipun. Kalau aku mengatakan ini pada orang banyak, pasti mereka akan membenciku. Tentu ini pikiranku semata. Jiro antusias dan meneriakkan Banzai bersama yang lain.

Itu sebelum kelulusan kami. Pada perjamuan terakhir, para geisha yang menebarkan kebahagiaan justru memberiku waktu sejenak untuk memandang hal-hal di belakangku dengan kejernihan. Maka, aku tak menghamburkan diri dalam keriangan bersama geisha-geisha. Aku duduk tenang meski di kiri-kananku ada dua geisha mengapit dan sesekali menawariku minum atau mengobrol. Beberapa jam berlalu begitu saja tanpa aku benar-benar acuh pada perjamuan terakhir kami. Namun sesudahnya, ketika riksha telah disiapkan di muka gerbang restoran, aku kembali seperti semula. Kali ini ke tempat mana lagi kami bakal meneruskan perjamuan ini? Kutanyakan itu pada diriku sendiri lantaran riksha yang kutumpangi melaju lebih dahulu sebelum dua kawanku yang tertinggal di belakang.

*

Riksha yang kutumpangi melaju dengan cepat. Lentera di tangkai kemudinya bergoyang-goyang sepanjang jalan. Aku bertanya pada si penarik riksha, tapi suaraku tertinggal di belakang saking lajunya riksha yang kutumpangi.

”Mau ke mana ini?” kuulangi pertanyaanku.

Si penarik riksha menoleh.

”Tuan yang tadi bilang akan ke Yo—,” belum selesai ucapannya, jalan berkerikil di depan kami memaksanya untuk tak menyelesaikan jawabannya. Ia bergerak lebih pelan. Saat aku hendak bertanya kembali, dua riksha di belakang yang ditumpangi Jiro serta Wakamatsu menghampiri kami.

”Lebih cepat lagi!” teriak Jiro.

Aku menoleh ke arahnya.

”Mau ke mana?”

”Ikut saja!” jawabnya sembari meringis.

Pada akhirnya aku tahu belaka. Kami bergerak menuju Yoshiwara, kawasan lampu merah. Jadi, ini perjamuan kedua. Sebelumnya, selama tinggal di tempat kos, aku tak pernah datang ke Yoshiwara bersama mereka. Aku hanya pergi ke sekitar Kuil Kannon yang ada sundal-sundal biasa. Sekali pamanku yang datang dari Osaka pernah mengajakku ke daerah kogoshi, pelacuran kelas rendah, tapi aku tidak sampai masuk rumah bordil. Aku menunggunya di luar sembari melihat-lihat orang tanpa minat. Aku pun bukan tolol yang menungguinya hingga selesai. Setengah jam setelah pamanku masuk rumah bordil, aku meninggalkannya. Ketika paman sudah selesai dan tiba di tempat kosku, ia marah-marah dan mengatakan aku tidak sopan. Tak berapa lama kemudian sehabis insiden ini, aku menceritakannya pada Wakamatsu dan Jiro. Mereka tertawa terbahak-bahak.

”Kenapa mesti marah, aneh bukan?” tanyaku.

Wakamatsu tak berhenti tertawa sampai-sampai air matanya keluar.

”Yah, pamanmu memang tukang lawak, sebenar-benarnya pelawak!”

Mengingat hal itu kembali, aku tersenyum saat Wakamatsu menunjuk-nunjuk sebuah bangunan. Gerbangnya tampak suram dan mengesankan seperti tak dihuni. Namun, saat aku mendongak, pada lantai kedua bangunan itu terlihat lentera-lentara menyala terguncang-guncang lembut ditiup angin.

”Rumah yang itu. Berhenti di sini saja!”

Riksha yang kami tumpangi berhenti di muka bangunan. Jiro dan Wakamatsu lekas turun, sementara aku agak enggan. Tapi, tak ada waktu buat ragu kalau dipikir-pikir lebih jauh. Saat itu kuputuskan masuk saja mengikuti kemauan mereka.

Orang tua bungkuk yang menyambut kami terlihat ramah. Ia menuntun kami ke lantai atas.

Sepanjang koridor, suasana hening menaungi langkah kami. Di pertengahan jalan, Jiro dan Wakamatsu sudah lenyap. Kutoleh kiri-kanan tak tampak batang hidungnya. Mereka masuk ke salah satu ruang barangkali. Namun, pak tua bungkuk itu masih menemaniku menyusuri koridor yang seakan tak berujung.

”Silakan, Tuan, ini kamar Anda.”

Orang tua bungkuk itu tersenyum, lantas undur beberapa langkah dan menghilang ditelan kegelapan.

Aku langsung masuk setelah menggeret pintu-kertas di depanku. Tampak ruang berpenerangan baik dengan kotak perapian di tengah-tengah. Ada teko tergantung rendah di atas perapian. Lantaran melihat teko itu, rasa haus akibat minum-minum sake tadi muncul. Aku meraih gelas di samping kotak perapian dan mengambil teko itu. Kuminum teh kental yang ada di dalamnya.

Tak ada siapa pun di situ. Namun, beberapa saat kemudian, pintu geser berlapis-lapis di sisi lain ruangan terbuka dan dari sana muncul seorang wanita memesona. Ia amat jelita. Kecantikan yang amat jarang ditemukan di tempat macam ini, pikirku kala itu. Namun, sesuatu terjadi setelahnya, sehingga tiap kali mengenang perempuan itu, hanya akan memberiku perasaan sedih akibat ketidaktahuan diriku pada dunia yang sesungguhnya.

Kesan pertama setelah melihat wajahnya yang rupawan, aku serasa pernah dekat dengan perempuan ini.

Ia berlutut mendekatiku. Menaruh dudukan bantal di sampingku buatnya. Ia lantas tersenyum.

”Sudah lama menunggu, Tuan? Maafkan saya.”

”Oh, aku baru sampai.”

”Sini mantelnya saya lepas.”

Tanpa menunggu arahan dariku, perempuan itu bergerak ke belakangku. Dengan telaten ia melepaskan mantel yang menutupi kimonoku.

”Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Sorot rembulan tepat mengenai wajahku saat aku membungkuk sedikit untuk memudahkannya melepas total mantelku. Ia mengamati wajahku dan tak berkutik untuk beberapa jeda. Lalu pada wajahnya muncul air mata.

”Sungguh memalukan kita bertemu di sini!” pekiknya. Ia menutup mulut dan sebagian wajahnya dengan ujung kimono legam yang dikenakannya pada saat itu. Sembari mundur beberapa langkah, ia terus menggeleng-gelengkan kepala.

”Ada apa?” Aku berusaha mendekatinya. Namun, tiap kali beranjak menuju ke perempuan itu, ia mundur selangkah lagi.

”Ada apa?” ulangku.

”Kau tak kenal aku? Lihat baik-baik siapa diriku.”

Dari tempatku duduk aku memandang lekat-lekat ke arah perempuan tersebut. Sebersit ingatan lekas datang ke pikiranku. Ginko!

”Ginko! Kenapa kau ada di sini?”

Perempuan ini ternyata Ginko. Sepupuku yang tinggal jauh.

Air mata Ginko terus menitik membasahi ujung dagunya yang lancip dan tertebar di lantai tatami ruang itu.

”Kakak!”

”Apa yang kaulakukan di sini?”

”Ayah terbelit utang. Aku dan adik-adikku dijual.”

Pikiranku pun terayun ke masa lalu. Ginko adalah kerabat jauhku. Kehidupan keluarga Ginko sepertinya baik-baik saja. Setahun lebih aku menghabiskan waktu tinggal di rumahnya pada saat sekolah menengah dulu. Rasanya tak ada apa pun yang luar biasa terjadi di dalam kehidupan keluarga tersebut. Tiba-tiba ia muncul di sini, di tempat hina ini, dan aku yang menyambangi tempat ini sebagai pelanggannya, sungguh sebuah kejadian yang tak dinyana. Untuk sesaat aku tak merespons apa yang ia ucapkan tadi. Aku mengawang-awang masa lalu saat kehidupan sebuah tenteram tergelar dalam keluarga bahagia.

”Bagaimana keadaan ayahmu kini? Di mana adik-adikmu?”

”Ayah meninggal empat bulan lalu. Adik-adikku menikah dengan para pedagang yang membeli mereka. Mereka menyuratiku kadang kala.”

Aku mendekati Ginko dan kuusap matanya.

”Kakak!”

”Tak usah bersedih. Mungkin bisa kuupayakan nanti untuk menebusmu dari rumah hina ini. Kau tunggu saja!”

Ginko memelukku dan aku mengelus-elus kepalanya. Musim panas saat itu benar-benar waktu yang tak semulus kehidupanku sebelum-sebelumnya. Sepupu yang telah kulupakan untuk beberapa saat hadir dengan begitu mencengangkan. Aku keluar dari ruangan Ginko setelah berjanji akan menebusnya. Saat Jiro dan Wakamatsu selesai, kuceritakan pertemuanku dengan Ginko. Seakan terlecut satu kenyataan menggugah, rasa mabuk yang mereka alami terpotong dan kesadaran mereka kembali. Mereka benar-benar menyesal telah mengajakku ke rumah bordil itu. Kukatakan ini bukanlah salah mereka. Keduanya pun ikut memikul beban yang sama setelah kuberi tahu bahwa aku hendak menebus Ginko dari rumah bordil.

Dua hari kemudian uang beberapa ribu yen guna menebus Ginko dari tempat terkutuk itu terkumpul setelah aku, Jiro, serta Wakamatsu susah payah mengumpulkannya dari utang sana-sini dan tabungan. Pada masa itu, gaji tertinggi pegawai hanya sampai ratusan yen, dan bagi lulusan perguruan tinggi yang belum menjalani kerja, uang ribuan yen itu bukanlah perkara gampang mendapatkannya. Namun, pada akhirnya uang tersebut terkumpul. Aku mencegat riksha di depan tempat kos dan bergerak dengan sekantong uang ke arah Yoshiwara.

Tatkala mucikari rumah bordil yang kusambangi malam itu mengatakan bahwa Ginko di rumah sakit saat itu, aku lantas meninju wajahnya. Mucikari tua itu terjungkir, dengan darah keluar dari hidung.

”Edan! Beraninya kau memukul perempuan!”

”Kau tidak mengurusnya dengan baik. Sampai dia masuk rumah sakit. Kalau ada apa-apa dengannya, aku tak segan membunuhmu!”

Perempuan tua itu surut. Ia ketakutan mendengar ancamanku. Ia berdalih kesepakatan tetaplah kesepakatan. Ayah Ginko sudah menjualnya.

Ginko telah lama menderita TBC. Pulasan pada wajahnya sanggup menutupi derita itu. Pada malam pertemuan kami, wajahnya yang memesona adalah tampakan palsu yang disodorkan darinya untuk diriku.

Aku mendapati Ginko di rumah sakit sudah meninggal. Aku merasa bagai orang hina yang pontang-panting tak tentu arah selama perjalanan pulang seraya mengingat kembali pertemuanku dengannya. Musim panas itu benar-benar salah satu dari hal menyedihkan yang menimpa diriku, Yasu Ogawara, orang rantai yang dua puluh tahun ini menjalani hukuman lantaran membunuh seorang mucikari. (*)

BAGUS DWI HANANTO

Lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Mengarang prosa dan menerjemah. Novelnya berjudul Si Konsultan Cinta & Anjing yang Bahagia (Rua Aksara, 2019). Terjemahannya: Matahari Terbenam karya Osamu Dazai, Kisah-Kisah yang Tak Bisa Dipercaya karya Karel Capek, Moju Si Monster Buta karya Edogawa Rampo, dan menyusul nanti buku-buku karya Friedrich Nietzsche.


Perjamuan Musim Panas