Busyro Muqoddas Berharap Jokowi Selamatkan KPK

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Busyro Muqoddas Berharap Jokowi Selamatkan KPK


JawaPos.com – Sebanyak 1.271 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menjadi aparatur sipil negara (ASN) kemarin (1/6). Meski ada polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai lembaga antirasuah itu, pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan tetap dilaksanakan.

Pelantikan dilakukan secara dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). Pegawai yang hadir secara fisik mengikuti pelantikan sebanyak 85 orang. Di antaranya, pemangku jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya (eselon I), yakni Sekretaris Jenderal (Sekjen) Cahya Hardianto Harefa serta Deputi Pencegahan dan Monitoring Pahala Nainggolan. ”Hadir secara virtual melalui aplikasi Zoom sebanyak 820 pegawai,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK.

Firli menegaskan, pengalihan itu merupakan amanat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang harus dilaksanakan.

Dalam pasal 1 angka 6 UU itu, kata dia, disebutkan bahwa pegawai KPK adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN.

Terkait nasib 51 pegawai yang dipecat, Firli menegaskan bahwa itu masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Sementara 24 pegawai yang masih bisa dibina, menurut Firli, solusi telah dibahas bersama dengan pihak-pihak terkait. ”Saya katakan tidak ada upaya menyingkirkan siapa pun,” ungkapnya.

Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) dalam jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, kemarin. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)

Sementara itu, eks pimpinan KPK Busyro Muqoddas mengatakan, pelantikan yang tetap dilaksanakan tersebut merupakan bentuk kenekatan Firli dan empat pimpinan KPK yang lain. Firli disebut secara terang melabrak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pidato Presiden Joko Widodo yang mengisyaratkan agar pengalihan ASN tidak merugikan pegawai KPK.

Meski demikian, menurut Busyro, kenekatan itu tidak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan pihak presiden atau pemerintah. Sebab, secara aturan, KPK sekarang berada di rumpun eksekutif atau bagian dari pemerintahan. ”Karena itu, segala sesuatunya (di KPK) di bawah presiden,” ungkapnya kepada Jawa Pos.

Menurut Busyro, kenekatan pimpinan KPK tersebut tidak hanya bertautan ke Firli dan presiden. Tetapi juga orang-orang yang berada di sekitar mereka. ”Berdasar informasi akurat, presiden itu dilingkari sejumlah orang yang sangat bernafsu agar KPK menjadi seperti yang sekarang ini,” terang dia.

Busyro meyakini bahwa tidak ada jaminan aman bagi pegawai KPK yang dilantik sebagai ASN. Sebaliknya, dia menilai sangat mungkin pegawai yang menjadi ASN akan mudah dipindah ke instansi lain jika dianggap berseberangan dengan pimpinan dan kekuasaan. ”Walaupun saya salut kepada mereka (pegawai yang dilantik menjadi ASN, Red),” paparnya.

Busyro menantang presiden untuk menunjukkan keberaniannya lepas dari ”cengkeraman” elite yang membelenggunya. Dengan begitu, KPK masih punya harapan untuk diselamatkan.

Selain itu, Busyro menyindir civitas academica yang memilih diam menyikapi persoalan di KPK saat ini. Padahal, mereka adalah salah satu kekuatan untuk menjaga demokrasi yang orisinal.

Eks Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko menyindir Firli dengan mengucapkan selamat kepada Firli karena cita-citanya sudah tercapai. Koko, sapaan akrabnya, menyebut Firli telah memenangi ”ronde” pertama polemik tes wawasan kebangsaan (TWK).

Menurut Koko, kemenangan Firli itu merupakan kabar baik bagi oligarki. ”Ini (pelantikan, Red) membuktikan mental Firli yang luar biasa baik terkait kesetiakawanan,” sindir Koko.

Baca juga: Abaikan Protes, Firli Tetap Gelar Pelantikan Pegawai KPK Menjadi ASN

Dia berharap pegawai yang telah dilantik sebagai ASN tetap menjaga kekompakan. Juga mempertahankan kekukuhan idealisme memberantas korupsi. ”Saya pribadi bangga dengan mereka (pegawai yang dilantik, Red),” paparnya.

Secara terpisah, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah M. Din Syamsuddin ikut angkat bicara terkait polemik kepegawaian di KPK. Menurut dia, itu bukan masalah kecil dan sederhana, melainkan hal besar dan serius. Pemecatan 51 pegawai dinilai berlangsung sistematis, terstruktur, dan masif. ”Maka, masalah ini harus diselesaikan secara bersungguh-sungguh dengan tindakan nyata,” terangnya kepada Jawa Pos kemarin.

Din menyatakan, butir-butir pertanyaan dalam TWK sangat absurd, tendensius, dan invalid. Hasilnya pun harus dinyatakan cacat, invalid, dan absurd. Orang-orang yang berada di balik TWK harus dimintai pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun moral.

Guru besar politik Islam UIN Syarif Hidayatullah itu mengatakan, pertanyaan yang berdimensi keagamaan seperti pilihan antara Alquran dan Pancasila serta pertanyaan lain yang serupa merupakan perbuatan melanggar SARA yang serius. Hal itu juga mendiskreditkan umat Islam dan bentuk kriminalisasi pegawai KPK yang beragama Islam. ”Serta berpotensi mempertentangkan antarumat beragama,” tegasnya.

Menurut Din, di antara 75 pegawai yang disingkirkan itu, ada penyidik kasus-kasus besar yang melibatkan elite politik dan konglomerat tertentu. Maka, sangat patut diduga bahwa upaya pemecatan tersebut adalah atas dasar keinginan dan kepentingan mereka.

Pemecatan dan penyingkiran para pejuang antikorupsi jelas akan melemahkan KPK. Apalagi, lembaga tersebut masih menyisakan kasus-kasus besar yang nyaris terbengkalai. Jika praktik itu dibiarkan, jelas akan menunjukkan bahwa pemerintah dan penyelenggara negara lain tidak konsekuen, konsisten, dan berkomitmen sejati dalam memberantas korupsi sebagai amanat reformasi.

Sebagai rakyat antikorupsi, pihaknya mendesak reformasi KPK. Menurut tokoh asal Sumbawa, NTB, itu, Presiden Joko Widodo perlu turun tangan untuk mengatasi masalah tersebut. ”Tidak membiarkan masalah berlarut-larut karena akan menciptakan kegaduhan politik dan suasana karut-marut,” tegasnya.

Sementara itu, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila kemarin, Fraksi PKS mengingatkan agar keyakinan agama dan Pancasila tidak dibenturkan. Itu menyusul polemik TWK KPK yang menyertakan pertanyaan-pertanyaan kontroversial.

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mencontohkan soal memilih antara Alquran atau Pancasila. Pertanyaan semacam itu menyesatkan dan merusak tatanan Pancasila itu sendiri.

Dia pun menuntut presiden menginvestigasi dan mengevaluasi TWK bagi seluruh pegawai negeri. Tidak hanya di KPK.


Busyro Muqoddas Berharap Jokowi Selamatkan KPK