Manfaatkan Voice Assistant, Para Tunanetra Bertahan di Tengah Pandemi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Manfaatkan Voice Assistant, Para Tunanetra Bertahan di Tengah Pandemi


Sejak pandemi, tunanetra yang jadi pemijat sepi job. Berdekatan saja tak boleh, apalagi kontak fisik. Yang biasa tampil memainkan electone pun masygul. Nihil undangan. Untung, Komunitas Mata Hati punya solusi. Mereka belajar berjualan melalui marketplace.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

DANNY Heru mendekatkan gawai ke telinganya. Jemarinya menyentuh layar dari atas hingga ke bawah. Dia kudu pelan-pelan agar bisa jelas mendengar voice assistant dari telepon genggamnya. Sebagai seorang tunanetra, suara yang dikeluarkan HP-nya itu sangat penting. Dari situ dia tahu jika ada customer yang tanya atau hendak membeli di lapaknya di marketplace yang identik dengan warna hijau tersebut.

Memanfaatkan dunia digital jadi salah satu cara Danny dan rekan-rekannya di Komunitas Mata Hati bertahan di tengah pandemi. Sejak setahun, para tunanetra yang tergabung di komunitas itu kehilangan pekerjaan. ’’Sepi, pendapatan turun 90 persen,’’ kata Danny. Karena harus tetap makan, mereka tak mau menyerah pada keadaan. Komunitas yang beranggota 19 orang itu memutuskan untuk bergerak.

Akhir tahun lalu, mereka menggandeng Persatuan Tunanetra Indonesia Cabang Surabaya untuk membuat survei kepada para tunanetra. Ada beberapa indikator kuesioner yang dibuat. Salah satunya soal penggunaan gadget. Kesimpulannya, penggunaan internet sangat tinggi.

Sebagian besar atau 96 persen tunanetra memiliki gadget. Di samping itu, mereka tertarik berwirausaha melalui platform digital.

Pelatihan sempat direncanakan awal tahun ini, tetapi gagal. Baru bulan ini bisa terselenggara. Mereka mendatangkan kalangan profesional untuk memberi materi. Mulai pembuatan lapak online, cara posting produk, menjaga rating toko, hingga belajar membuat media sosial dan copywriting. Repot memang. Tapi, mereka terus belajar. ’’Kan eman kalau gadget hanya untuk komunikasi dan hiburan,’’ kata Danny.

Fitria Rahmad, salah seorang peserta, mengaku semangat belajar. Sebab, pandemi membuat perekonomiannya morat-marit. Empat toko grosirnya di Plaza JMP tutup. Tinggal satu toko di Pasar Turi yang bertahan. Namun, penjualan di toko yang dikelola bareng saudaranya itu menurun drastis. Kini dia sudah memiliki lapak online. Meski belum seminggu, setidaknya barang aksesori manten punyanya mulai dilirik warganet.

Fadhlakal Jamal Ghofqru Aswar, koordinator kegiatan tersebut, menuturkan bahwa semua tunanetra saling membantu, saling support, hingga saling menjual. Sebab, dari 19 orang itu, tidak semua menjual barang produksinya. Banyak juga yang menjadi reseller. Meski masih baru, sebagian sudah mendapatkan hasil. Bahkan, saat pelatihan hari kedua, ada yang berhasil menarik pembeli.

Danny yang berjualan jamu herbal pun mengaku terbantu. Meski dia memiliki lapak online, penjualan barang dagangannya juga dibantu oleh rekannya. Menurut dia, pelatihan memang telah selesai. Namun, follow-up harus terus dilakukan. Mereka dibuatkan grup WhatsApp. ’’Segala keluhan bisa disampaikan di grup,’’ terangnya.

Baca Juga: Jam Malam di Surabaya Dimajukan, Karyawan Bawa SIKM

Biasanya, keluhan yang dialami mereka adalah voice assistant tidak merespons. Sehingga kalau ada notifikasi pasti terlewatkan. Di samping itu, beberapa Android mereka belum di-upgrade. Akibatnya, aksesibilitasnya terganggu. Jadi, mereka sulit merespons jika ada pesanan. ’’Saya pun ya sama kendalanya begitu,’’ terang alumnus magister Unair tersebut.

Selain itu, Danny berpesan agar memilih kurir ekspedisi yang paling dekat dari rumah. Sehingga mengurangi pengeluaran biaya.


Manfaatkan Voice Assistant, Para Tunanetra Bertahan di Tengah Pandemi