Melihat Khitanan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Surabaya

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Melihat Khitanan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Surabaya


Proses khitan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak bisa sembarangan. Butuh tenaga ekstra agar khitanan berjalan mulus. Sulitnya komunikasi dan reaksi histeris menjadi tantangan tersendiri.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya

MINGGU siang itu (13/6) menjadi hari yang bersejarah bagi Rafif Quincy: dia berhasil dikhitan. Berat nian proses potong alat kelamin itu dia lalui. Dia meronta-ronta, menangis. Dia merengek-rengek dengan nada naik-turun, seperti penyanyi yang pindah-pindah suara dari tenor menjadi bariton, lalu berubah lagi dari bariton ke tenor. Ketakutan benar rupanya.

Tibalah saatnya dia menerima suntikan bius dari dokter. Suaranya tak lagi naik-turun. ’’Aaarrgh!! Aarrghh!!” teriaknya kencang, kencang sekali.

Rafif hanya bisa berteriak dan menangis. Tujuh laki-laki memegangi tubuhnya agar tak semakin memberontak. Dokter kemudian menyayat alat kelaminnya.

Dua puluh menit kemudian, proses khitan selesai. Rafif mulai tenang. Dia lantas bangun dari tempat tidur. ’’Ayo pulang,” katanya datar kepada dokter dan para relawan yang memegangi tubuhnya selama proses khitan. Ajakan itu disambut tawa dan perasaan lega dari orang-orang.

Proses khitan yang terasa ’’berat” seperti itulah yang biasa terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Rafif mengidap autisme. Disabilitas semacam itu membuatnya berperilaku berbeda ketika merasa terancam. Dalam proses khitan tersebut, sebenarnya dokter menggunakan teknik khitan tanpa jahitan yang tidak bikin sakit (smartklamp).

Tapi, rasa takut membuat Rafif berteriak histeris. Rafif sebenarnya sudah diberi tahu bahwa dia bakal dikhitan. Sebelum mengikuti khitanan massal yang diselenggarakan Yayasan Ananda Mutiara Indonesia (AMI) di Sidoarjo, dia dijemput Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Bangun Bangsa Surabaya Oktalia Pramudyastuti.

Rafif memang terbiasa diantar-jemput setiap pergi dan pulang sekolah. Kala itu, Lia –sapaan akrab Oktalia– menjemput Rafif dari rumahnya di kawasan Kedungcowek ke kawasan Anggaswangi, Sidoarjo. ’’Waktu jemput ya bilangnya mau sekolah. Tapi pas di mobil, saya bilang, ’nanti dikhitan ya Rafif, dipotong burungnya biar sehat’,” kata Lia.

Rafif menjawab dengan reaksi yang biasa. Dia hanya mengoceh, tapi terlihat riang. ’’Ya dia makan es krim saja di mobil, hahaha,” ungkap Lia.

Dia gemas pada anak didiknya itu. Rafif tak paham apa artinya khitan, apa fungsinya, dan apa risikonya jika tak kunjung dikhitan. Namun, cara penjemputan dengan modus ’’berangkat sekolah” itu harus dia lakukan agar Rafif mau dikhitan. Tentu, hal itu juga dilakukan atas persetujuan kakek, nenek, dan ayahnya yang sehari-hari tinggal serumah dengan Rafif.

Untuk bocah seusianya, Rafif tergolong mempunyai badan yang bongsor. Tinggi badan siswa kelas III SD itu sama dengan para relawan yang menanganinya. Tubuhnya cukup tambun untuk anak usia 11 tahun.

Mengkhitan ABK memang membutuhkan usaha yang lebih keras. ’’Kalau anak yang biasa, khitan dengan metode smartklamp itu cukup ditangani 1–2 orang. Kalau ABK, minimal 4 orang karena harus ada yang memegang tubuh anak itu supaya tidak berontak,” kata dr Sony Wijaya, dokter penanggung jawab khitanan massal kala itu.

Proses khitan juga lebih lama, dari yang biasanya 10 menit menjadi 20 menit untuk ABK. ’’Kesulitannya tentu ada di proses komunikasi ya. Harus ada keluarganya atau orang yang dipercaya anak supaya lebih rileks,” imbuhnya.

Baca Juga: Kalah Berebut Warisan meski Punya Akta Wasiat

Khitan untuk ABK sebenarnya akan lebih baik jika menggunakan bius total agar prosesnya berjalan dengan lebih nyaman dan tidak membuat si anak takut. Namun, Rafif tidak menerima itu. ’’Bius total mahal sekali. Orang tua ABK rata-rata tidak mampu,” kata Yenni Darmawanti, ketua Yayasan AMI. Khitan massal pun dilakukan dengan bius lokal yang lebih murah.

Rafif tidak sendiri. Selain dia, ada 49 ABK lain yang ikut khitanan massal. Ditambah 10 anak duafa. Yenni mengatakan, khitan sangat penting bagi ABK. Namun, belum banyak orang tua ABK yang sadar pentingnya khitan karena lebih mendahu)lukan kebutuhan lain. ’’Bagi ABK yang sudah dikhitan, kebanyakan tidak mudah kejang-kejang, tidak mudah panas badannya. Lebih sehat. Itu yang terus kami edukasi ke orang tua,” katanya.

Baca Juga: Pura-Pura Berkongsi, Pakai 77 Invoice Palsu, Kredit Cair Rp 65 M

Kendala orang tua ABK, lanjut Yenni, rata-rata adalah masalah biaya. Biaya membesarkan ABK, menurut ibu tiga ABK itu, lima kali lebih mahal daripada biaya membesarkan anak pada umumnya. Khitan pun jadi ditunda-tunda. Tunggu anak SD, SMP, begitu terus, hingga banyak penyandang disabilitas yang baru dikhitan saat dewasa. ’’Pernah ada yang khitan itu usia 17 tahun, 23 tahun,” ungkap Yenni.

Sayang, tidak semua ABK bisa langsung dikhitan. Azka Yusuf Sugiharto, ABK binaan Yayasan AMI, tidak bisa mengikuti khitanan massal kala itu. Bayi 2 tahun tersebut memiliki penis yang terlalu kecil (mikropenis) sehingga harus menjalani terapi hormon.


Melihat Khitanan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Surabaya