Genosida Para Ikan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Genosida Para Ikan


Pada hari buruk bagi ikan: mereka terapung seolah hendak menutupi permukaan sungai. Dengan mata terbelalak seolah memprotes cara kematian yang tidak adil begitu. Sekelompok manusia segera mencebur ke sungai, kemudian sibuk memunguti ikan-ikan tercecer dimasukkan ke dalam karung. Tentu saja mereka tidak tahu bagaimana dunia ikan di dalam air: mengapa ikan-ikan itu tak pernah lagi tertarik pada umpan-umpan mereka yang tersangkut di mata kail.

KEHIDUPAN ikan di sana semula rukun dan damai. Saban hari mereka larut dalam kesibukan. Ada induk ikan yang telaten menggembleng anak-anak mungil mereka dalam pengajaran latihan menggerakkan sirip dan ekor, pada tahap selanjutnya diajak berenang demi menyaksikan panorama sungai yang indah.

Pemuda-pemuda ikan setiap minggu ada jadwal khusus bertualang, menjelajahi dunia dalam sungai, seperti saja dunia yang tak ada ujung dan penuh akan misteri. Sedangkan ikan betina sibuk tebar pesona pada ikan jantan, berharap diajak kencan, kemudian dibuahi demi menghasilkan keturunan.

Plankton yang mengambang selalu menjadi daya tarik bagi ikan-ikan untuk diburu sebanyak-banyaknya demi mengenyangkan perut. Tetapi, tidak selamanya makanan di sungai itu aman dan layak untuk dikonsumsi. Para tetua ikan suka bawel menasihati keturunan mereka. ”Hati-hati dengan mulutmu,” kalimat itu sudah menjadi seruan wajib dalam setiap keluarga ikan. Setelah seruan itu, lahirlah pertanyaan, kemudian akan ditimpali dengan penjelasan lebih lanjut.

”Ada satu jenis makanan, berdaging empuk, dan sangat lezat. Sebaiknya makanan itu diteliti dulu sebelum dilahap. Ditakutkan kalau di dalam kelezatannya ada perangkap manusia yang sangat mematikan. Hanya ikan beruntung yang akan selamat, itu pun tidak sebenar-benarnya bisa dikatakan beruntung, sebab efek jebakan manusia bisa membuat mulut cedera parah. Kalian lihat, bagaimana mulut Zubaer!”

Kecuali ikan-ikan yang menetas belakangan, akan tahu bagaimana kisah Zubaer, seekor ikan belut jantan yang lolos dari maut. Hari nahas baginya. Hari yang betul-betul lapar, plankton atau bangkai serangga tak cukup mengenyangkannya. Dia yang masih kelaparan berenang ke sana kemari. Ketemulah dia dengan makanan lezat itu.

Sebenarnya teringat seruan para tetua ikan tentang kemungkinan besar makanan lezat itu berbahaya. Zubaer tidak bisa berhati-hati lagi, nafsu besar terlalu berkuasa di dalam tubuhnya. Demi memuaskan hasratnya, sekali sambaran terhadap makanan lezat itu dengan mulut rakusnya.

Menyesallah dia kemudian, niatnya ingin cepat-cepat menelan, tetapi tidak bisa, makanan lezat itu mengandung mata kail tersangkut di rongga mulutnya. Perih yang Zubaer rasa, dia melonjak-lonjak tak keruan. Dia merasakan sebuah tenaga besar menarik mata kail sehingga tubuhnya semakin dekat ke permukaan. Zubaer berusaha meloloskan diri, terus bergerak-gerak sekuat tenaga, berharap mata kail bisa lepas mencengkeram mulutnya.

Usahanya membuahkan hasil, di saat manusia di daratan sudah sangat yakin bakal mendapatkan Zubaer yang semakin dekat ke tepi. Sebuah keajaiban terjadi. Tiba-tiba Zubaer berhasil melepaskan mulutnya dari kaitan mata kail itu, tetapi mulutnya sobek parah dan berdarah-darah. Manusia itu hanya bisa mengumpat kesal, belut tangkapannya terlepas.

Cepat-cepat Zubaer berenang jauh ke dalam dasar. Pergerakannya sempat memperhatikan air di dekat mulutnya merah oleh darahnya. Zubaer bersembunyi di akar pohon beringin kukuh di tepi sungai. Di sanalah Zubaer mengistirahatkan dirinya. Dia terus mengerang sakit, mengundang respons ikan-ikan yang berlalu-lalang di sekitarnya, berhenti dan menengoknya.

”Astaga! Apa yang telah terjadi padamu, Bung?” ucap seekor nila. ”Adakah hunian kita yang damai ini telah didatangi oleh para kanibal yang hendak memangsamu?”

Zubaer tak bisa langsung menimpali. Dia tampak sangat lemah, terus mengerang seperti ikan uzur yang sudah terlalu lama sakit. Semakin banyak ikan yang berkerumun di akar beringin itu, mengelilinginya, menyentuhkan mulut-mulut mereka ke tubuh Zubaer, seperti pijatan guna membuat baik perasaan.

”Beginilah… beginilah jika saya menjadi ikan pembangkang. Saya tidak bisa berhati-hati dengan mulut saya.” Akhirnya Zubaer bersuara. Suaranya sudah beda, efek mulutnya yang sobek. Artikulasinya tidak cukup jelas, tetapi mereka masih bisa memahami maksudnya. Dalam kondisi mulut seperti itu, Zubaer tetap mampu menceritakan pengalaman buruk yang baru saja ia alami.

”Kita tidak bisa menyalahkan manusia. Kita adalah makhluk yang dirancang Tuhan memang untuk diburu oleh mereka. Seberapa mudah kita ditangkap itu kembali kepada kita sendiri. Sepanjang kita tidak bisa berhati-hati dengan mulut, yakinlah hidup kita akan berakhir di dalam perut mereka,” tutur ikan nila.

Mendapati kenyataan mulutnya telah cacat, Zubaer sangat menyesal. Dia menjadi pribadi yang tidak percaya diri, suka menyendiri. Dulu dikenal pejantan yang gagah, betina suka tebar pesona kepadanya, kini sudah dipandang jelek oleh para belut betina. Tegas sekali mereka mengatakan tak sudi dibuahi Zubaer. Mereka takut nanti punya keturunan yang cacat seperti mulut Zubaer.

Di sisi lain, pengalaman buruk Zubaer yang lolos dari maut semakin tersebar dari mulut ke mulut. Para tetua suka menukil kisah itu untuk memberikan pengajaran kepada anak-anak ikan. Nama Zubaer semakin sohor saja, lantas tak membuatnya bangga, justru semakin malu dan semakin menjadi belut penyendiri.

Dalam keheningan dan kesendiriannya, bersumbunyi di dalam akar, Zubaer pernah berkata, seolah ada ikan yang mendengarnya. ”Alangkah lebih baik saya tak selamat dari mata kail, biarkan kehidupan saya berakhir di dalam perut manusia. Itu lebih baik daripada kenyataan yang saya alami sekarang. Nama saya telah busuk, sebagai figur yang tak harus digugu dan ditiru karena tak bisa berhati-hati dengan mulut.”

Pengajaran tetua ikan kepada keturunannya seperti tak membuahkan hasil. Sesering apa pun menyebut nama Zubaer, seruan-seruan yang dilayangkan paling tidak didengarkan. Buktinya setiap pekan pasti selalu ada ikan yang hilang, dalam jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit.

Tidak butuh waktu lama kasus kehilangan mereka segera dipecahkan, selalu dikaitkan karena mereka tidak bisa berhati-hati dengan mulut. Kesimpulan itu dibenarkan pula oleh kesaksian ikan-ikan yang lolos dari maut: mampu melepaskan diri dari cengkeraman mata kail. Walau mulut mereka sobek, ada yang luka ringan, ada juga yang lebih parah daripada mulut Zubaer.

Karena tidak ingin kejadian itu terulang terus-menerus, demi mengembalikan kehidupan mereka yang damai, sebuah musyawarah besar para ikan dilakukan. Mufakat yang dihasilkan adalah haram hukumnya mengonsumi makanan lezat seperti yang sering dijadikan umpan oleh manusia. Makanan itu nyata membawa mudarat bagi tubuh.

Sejak saat itu makanan lezat tak lagi dilirik oleh para ikan. Dulu suka didekati karena rasa penasaran, menjadi dijauhi seolah-olah makanan yang menjijikkan. Jika melihat makanan itu mengambang di dalam air, atau stagnan di dasar sungai, ikan-ikan yang melihatnya akan berbalik haluan. Bahkan, rombongan anak-anak ikan memberi respons dengan sangat berlebihan, berenang terbirit-birit sambil berteriak, ”Ada monsterrr!!!!”.

Terbukti sejak makanan lezat itu diharamkan, tidak lagi ditemukan kasus ikan hilang atau ikan tiba-tiba menjadi cacat mulut.

Manusia yang hobi memancing di sungai itu suka kesal mendapati ikan-ikan di sana tidak lagi ramah terhadap umpan-umpan mereka. Sudah berkali-kali mereka pulang ke rumah tanpa berhasil membawa seekor ikan pun. Padahal, nyata sekali ikan di sana masih sangat banyak.

Sekelompok manusia itu sudah kehilangan kesabaran, merasa dipermainkan ikan-ikan yang cuek, terpikirkanlah untuk membasmi mereka. Pagi-pagi sekali mereka telah berada di tepi sungai. Bubuk kimia telah larut di dalam wadah yang mengandung air. Masing-masing menuruni sungai membawa wadah itu untuk ditumpahkan ke dalam air sungai.

Dalam waktu cepat cairan itu telah menyebar, menodai air sungai. Para ikan terkejut dengan perubahan habitat mereka yang sangat tiba-tiba. Air yang pada mulanya segar menjadi berbau dan berasa lain. Tidak butuh waktu lama cairan yang telah bekerja itu memberikan efek samping pada mereka. Ikan-ikan mulai terhuyung seperti sedang mabuk. Perasaan mereka sudah sedemikian kacau, bawaannya ingin memuntahkan seluruh isi dalam perut.

Mereka sudah tak cukup bertenaga untuk menyelamatkan diri. Racun yang telah menyebar dengan cepat melemahkan tenaga mereka. Bersembunyi jauh ke dalam akar, rumput, atau batang mati bawah sungai sia-sia saja, tetap merasakan serangan racun itu. Semakin genting dan panik, mereka berenang tak keruan. Ramai teriakan mereka dengan suara bergetar, ”Oh, beginikah rasanya kiamat.”

Mula-mula anak-anak ikan yang menyerah pada keadaan mengerikan itu tak sanggup lagi bertahan. Kemudian ikan-ikan yang besar, yang lebih besar, dan yang lebih besar lagi. Sehingga pada akhirnya permukaan sungai seolah tertutupi tubuh ikan yang telah mati atau yang sedang sekarat. Itulah hari buruk bagi ikan-ikan di sungai. (*)

*) MAWAN BELGIA, Berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat. Novelnya yang telah terbit, Sampah di Laut, Meira.


Genosida Para Ikan