Fundamental Lebih Kuat seiring Naiknya Harga Komoditas

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Fundamental Lebih Kuat seiring Naiknya Harga Komoditas


JawaPos.com – Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) telah mengumumkan akan mengurangi quantitative easing (QE) secara bertahap alias Tapering Off mulai akhir November, dini hari kemarin (4/11).

Hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) menyatakan, pengurangan stimulus akan dimulai dengan memotong laju pembelian aset bulanan sebesar USD 15 miliar. Rinciannya, USD 10 miliar untuk surat berharga dan USD 5 miliar untuk jaminan berbasis mortgage atau agency mortgage-backed security (agency MBS).

Chairman The Fed Jerome Powell mengatakan akan terus melakukan pengurangan aset setiap bulannya. Bisa jadi akan mengakhiri pembelian obligasi pada pertengahan 2022. Meski demikian, pihaknya masih akan mempertahankan Federal Fund Rate (FFR) tetap rendah mendekati 0 persen.

Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee menyebut, tapering The Fed tidak akan berdampak besar terhadap Indonesia seperti taper tantrum 2013 silam. Meski, memang membuat nilai tukar rupiah terhadap USD sedikit tertekan. Ada sejumlah sejumlah alasan yang membuat Indonesia tidak terlalu terpengaruh pengetatan The Fed.

Hans menilai, penanganan persebaran Covid-19 oleh pemerintah cukup bagus. Kemudian, kenaikan harga komoditas batu bara, minyak kelapa sawit, dan gas, serta kondisi fundamental makro ekonomi Indonesia yang lebih kuat. Selain itu, pelaku pasar sudah mengantisipasi taperinh The Fed seiring keterbukaan informasi bank sentral Paman Sam itu.

“17 pekan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia surplus akibat harga komoditas naik. Sebenarnya Indonesia sangat diuntungkan atas krisis energi yang terjadi di negara-negara maju. Jadi, dana asing itu masuk,” kata Hans kepada Jawa Pos, tadi malam.

Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu mengatakan, kondisi ekonomi makro Indonesia lebih baik ketimbang 2013. Tercermin dari meningkatnya cadangan devisa serta defisit transaksi berjalan di level yang rendah. Fundamental ekonomi yang lebih kuat membuat guncangan tapering akan lebih kecil. Apalagi, mata uang negara berkembang termasuk Indonesia saat ini undervalued. Rupiah masih berpotensi menguat terhadap mata uang kuat dunia lainnya.

Apalagi, Indonesia juga sedang mengalami kebangkitan investor ritel yang mendominasi transaksi di bursa saham. Kepemilikan asing di saham dan obligasi Indonesia juga berada di level yang realtif rendah bila dibandingkan beberapa tahun terakhir.

Hans memperkirakan, kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate (BI7DRR) paling cepat pada kuartal II 2021. Setidaknya, naik 25 basis poin (bps). Sejalan dengan kemungkinan kenaikan Fed fund rate yang naik di semester II 2022.

“Kalau itu terjadi kenaikan BI bisa mengimbangi dengan menaikkan suku bunga jika ada tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Periode BI7DRR rendah paling tidak sampai kuartal I 2022,” tandasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, setelah The Fed mengumumkan tapering, pasar saham masih mencatatkan nett buy Rp 315 miliar kemarin. Tapi, perlu diwaspadai dari sisi kurs rupiah terhadap US dolar (USD) yang cenderung tertekan ke level Rp 14.342. “US Dolar diburu investor sebagai safe haven dibanding mata uang negara berkembang. US Dolar index tercatat 94,2 atau meningkat 0,38 persen,” ungkapnya melalui pesan singkat.

Lulusan University Of Bradford tersebut menyatakan, investor mulai bersiap mengatur ulang portfolionya dengan menghindari aset berisiko jangka pendek. Selain itu, banyak pula yang wait and see, menanti dampak tapering off The Fed yang akan berakhir Juli 2022. Sebab, mereka khawatir pengetatan tersebut akan disertai kenaikan suku bunga acuan atau Fed rate.

Indikator lain yang perlu diwaspadai adalah Credit Default Swap (CDS) yang mengalami titik terendah pada September 2021 yang perlahan fluktuatif mengarah pada kenaikan. Tercatat CDS berada di level 83.6 per 2 november 2021. Meningkat dibanding posisi september lalu di posisi 66. “Naiknya CDS bisa jadi risiko surat utang Indonesia mulai meningkat lagi,” jelas Bhima.

Dia mendorong, pemerintah dan BI segera melakukan koordinasi untuk menjaga devisa. Terutama optimalisasi ekspor non komoditas dan memberi insentif tambahan. Agar devisa hasil ekspor (DHE) lebih besar dikonversi ke rupiah. Dengan harapan, uang hasil penjualan sawit dan batubara akan ditanamkan di dalam negeri. Bukan malah disimpan di bank luar negeri.

Upaya yang tidak kalah penting lainnya, lanjut Bhima, yakni merealisasikan komitmen- komitmen investasi asing langsung alias foreign direct investment (FDI). Baik, swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN) harus kerja ekstra untuk menarik dana investasi jangka panjang ke indonesia. Sebagai pengganti risiko larinya modal jangka pendek.
“Jangan sampai BI hanya bermain di suku bunga. Karena sekali bunga naik 25 basis poin (bps) dikhawatirkan pinjaman bank langsung melemah kembali,” tegasnya.

Menurut dia, kenaikan suku bunga acuan sebaiknya dilakukan hati-hati. Sebisa mungkin gradual 25 bps setiap rapat dewan gubernur (RDG) BI. “Itu pun tidak hanya pertimbangan kondisi sektor keuangan, tapi juga sektor riil misalnya memperhitungkan dampak terhadap pemulihan kredit sektor usaha,” pungkasnya.

Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, pihaknya telah memperkirakan tapering terjadi pada akhir tahun ini. BI juga bekerja sama dengan Kementerian Keuangan untuk melakukan penyesuaian nilai tukar rupiah dan yield atau imbal hasil surat berharga negara (SBN).

“Konsistensi dalam melakukan respons tersebut bersama dengan otoritas fiskal, serta komunikasi yang baik dari The Fed, bisa membuat Indonesia mampu menahan atau meminimalisasi dampak potensial yang timbul akibat tapering,” tegasnya.


Fundamental Lebih Kuat seiring Naiknya Harga Komoditas