”Jangan Lupa Bintangnya, Kak!”

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

”Jangan Lupa Bintangnya, Kak!”


Selepas menerima bingkisan makanan yang saya pesan secara daring, si pengemudi ojol sambil tersenyum berpamitan berkata, ”Jangan lupa bintangnya, Kak!”

KITA sering mendengar permohonan semacam itu. Tak semata-mata minta bintang sebetulnya. Lebih tepat ia meminta peringkat lima bintang di aplikasi layanannya, seperti mahasiswa berharap memperoleh nilai maksimal A+.

Jika ia tak membuang-buang waktu di jalan, tak membuat makanan kita tumpah tak keruan, tak berkata-kata yang membuat kita tak nyaman, umumnya kita dengan senang hati memberinya lima bintang. Itu sangat berarti bagi si pengemudi ojol, mengingat rata-rata bintang yang diperolehnya akan menentukan kemungkinan ia memperoleh tawaran pesanan dari algoritma aplikasi.

Sekilas itu cara yang jitu untuk mengukur kinerja seseorang. Lima bintang berarti bekerja dan berperilaku sangat baik, sementara memperoleh satu bintang berarti buruk. Orang akan terdorong untuk menjaga kinerjanya, memperbaikinya jika memperoleh nilai rendah.

Di tengah dunia yang semakin terdigitalisasi dan terkoneksi ke internet, bentuk-bentuk peringkat ini semakin umum kita temukan. Tak hanya untuk layanan jasa seperti kasus pengemudi ojol yang mengantar makanan, tapi juga untuk barang. Masyarakat pengguna jasa atau pembeli produk memiliki kuasa untuk ikut mengontrol kualitas yang diperlukan.

Tapi, benarkah itu berjalan sebagaimana dibayangkan?

Sekali waktu, seorang teman yang berjualan buku secara daring di satu layanan lokapasar mengomel karena ada satu pembeli yang memberi peringkat empat bintang. Ia merasa nilai rata-rata tokonya berkurang. Ia menghubungi si pembeli, bertanya apa yang salah dengan produknya sehingga diberi nilai tidak sempurna.

Jawaban si pembeli semakin menjengkelkannya. Ternyata si pembeli kesal karena buku pesanannya tertekuk sedikit. Tekukan itu sebetulnya karena layanan jasa kurir yang ceroboh, tapi si pembeli tak peduli dan menjatuhkan empat bintang untuk toko teman saya.

Siapa bisa mencegah si pembeli memberi nilai sesuai yang dia mau? Bahkan meskipun yang salah kurir, tapi karena ia tak memiliki tempat untuk memberi peringkat layanan kurir, kesalahan ia lemparkan ke pemilik toko. Tidak adil? Bisa jadi, tapi begitulah kenyataannya.

Semakin hari, kita akan semakin terperangkap dalam sistem peringkat ini. Nilai-nilai manusia dan benda diukur dalam skala sederhana 1–5. Tak mudah pula mengabaikannya, karena untuk beberapa orang, itu perkara penghidupan. Perkara bisa menjual dagangan dan menerima pesanan atau tidak.

Di baju tentara, melihat tanda bintang itu jelas lebih mudah membacanya. Lima bintang artinya ”jenderal besar”. Hanya tiga orang di Indonesia yang pernah meraihnya. Satu bintang artinya ”brigadir jenderal”. Jelas.

Sialnya, bintang yang kita bicarakan sangat berbeda dengan bintang di baju tentara. Apakah arti buku dengan lima bintang di situs Goodreads? Bagi seseorang, buku tersebut bisa jadi memang bagus dan sempurna. Bagi pembaca lain, bisa jadi itu buku yang buruk dan tidak disukainya.

Setiap orang punya ukuran nilai yang berbeda-beda. Seseorang bisa menganggap novel bagus adalah yang bisa membuatnya terhanyut secara emosi, orang lain lebih karena bahasanya. Jadi, kalau ada film memperoleh lima bintang di Letterboxd, sebetulnya bagus karena apanya? Ceritanya? Akting pemainnya? Jika di Google Review ada restoran memperoleh dua bintang, apanya yang buruk? Makanannya? Interiornya? Pelayannya?

Kita tak pernah benar-benar tahu jika melihat ke peringkat bintangnya semata. Kita terpaksa menafsirkan hal yang bersifat kualitatif (nilai yang memiliki banyak spektrum dan sering kali bersifat subjektif) ke dalam skala kuantitatif yang (seolah-olah) objektif. Itu belum termasuk kemungkinan ada orang iseng memberi peringkat, tak peduli itu melibatkan nasib pekerjaan orang lain.

Pada titik-titik tertentu, urusan pemberian peringkat ini sudah mulai berimbas ke politik dagang. Sudah sering terjadi, jika ada satu perusahaan karena humas (atau pemilik) melakukan kesalahan, akan memperoleh perundungan berupa peringkat buruk untuk aplikasi buatan mereka di telepon genggam. Yang dinilai bukan lagi aplikasinya, tapi nama perusahaan secara luas.

Yang luar biasa, saya membayangkan semua ini hanya permulaan belaka. Suatu hari, tak hanya pengemudi ojol yang dinilai dengan bintang, tapi kita semua akan dilihat dengan cara seperti itu, sebagai pribadi.

Bagaimana kalau saya memberimu satu bintang hanya karena kamu tak pernah sembahyang, karena kamu pakai kaus bola klub saingan, atau karena kamu berambut gondrong? Yang artinya, sesuatu yang pada dasarnya urusan personalmu tiba-tiba memperoleh penilaian seolah-olah itu bersifat publik?

Bagaimana pula jika algoritma, setelah diterapkan di berbagai bidang, mempergunakan peringkat semacam itu untuk menentukan kamu bisa sekolah di mana, atau boleh/tidaknya masuk bioskop, dan menentukan pula diterima/tidaknya lamaran pernikahan?

Entahlah. Bisa jadi itu dunia distopia yang tak akan terjadi, meskipun horisonnya nyata terlihat di depan mata. Masih mau diberi bintang, Kak? (*)

EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis,nomine The Man Booker International Prize 2016


”Jangan Lupa Bintangnya, Kak!”