Ketika Anak Mulai Tahu Siapa Temannya, Boleh Bolo-boloan Nggak, Ma?

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Ketika Anak Mulai Tahu Siapa Temannya, Boleh Bolo-boloan Nggak, Ma?


Mom, pernah dengar anak bilang nggak mau bolo (berteman) sama salah seorang temannya nggak? Alasannya beragam sih. Dan tidak jarang, alasannya bikin perut kaku karena tertawa begitu mom mendengarnya.

SETIAP orang tua pasti menginginkan anaknya bisa bersosialisasi dengan baik. Punya teman yang superbanyak. Dan anak tetap manis saat berinteraksi dengan teman-temannya. Ya, tapi namanya juga anak-anak, mom. Ada saja kelakuannya. Hehe.

Psikolog anak Agustina Twinky Indrawati menyatakan, berbicara konsep mengenal lingkungan seperti berteman, sebetulnya anak itu sudah mengenalnya dari usia baby. Awalnya dari orang terdekat dulu. Misalnya, mama, ayah, nenek, kakek, atau kakak. Namun, cara anak untuk berteman itu mungkin akan berbeda. ’’Masih usia batita-balita biasanya berteman untuk bertengkar,” katanya saat dihubungi Jawa Pos pada Selasa (20/7).

Menurut salah seorang founder Sebaya Riang itu, pada usia batita dan balita, anak gampang berteman, tapi juga mudah berantem. Hal-hal kecil saja bisa membuat anak bertengkar. Dia menilai, kondisi tersebut tidak menjadi masalah. Dengan catatan, berantemnya tidak sampai mengarah ke fisik atau interaksi berteman anak yang melanggar moralitas.

Lantas, apakah ada standar ideal usia teman untuk anak? Twinky menyebutkan, tidak mengapa jika anak menjalin pertemanan dengan teman yang usianya lebih dewasa setahun atau dua tahun.

Pada dasarnya, tidak masalah jika anak berteman dengan siapa saja. Twinky menyatakan, malah hal itu membuat anak bisa belajar. ’’Kapan sih aku harus ngomong begini ke teman sebaya atau tidak. Orang tua tetap perlu memantau, ya,” jelasnya.

Sejak usia 9 bulan, jiwa berteman dalam diri anak semakin kuat. Di usia itu, anak mulai bisa berjalan. Kemudian jika anak, terutama usia batita-balita, sampai melakukan blok-blokan saat berteman, orang tua perlu mengevaluasi.

Twinky mengungkapkan, apa yang anak-anak lakukan itu harus dikembalikan ke lingkungan sekitar. Anak-anak memiliki jiwa dan pikiran yang murni. Karena itu, orang tua harus menjaga anak dengan baik. ’’Bisa jadi, anak blok-blokan atau bolo-boloan karena mereka pernah melihat orang tuanya seperti itu juga. Atau, orang di lingkungan anak begitu, ya,” terang perempuan kelahiran Surabaya tersebut.

Alumnus Fakultas Psikologi Ubaya itu menilai, anak memang nggak paham betul, tapi kemampuan belajar mereka tinggi sekali. Misalnya, perilaku hingga tindak tutur dari orang tua menjadi kebutuhan dasar untuk anak.

Mengajari anak untuk memahami perbedaan dan keberagaman sejak usia dini, batita-balita, menjadi hal yang juga penting dilakukan. Misalnya, anak tidak mau berteman karena temannya berbadan lebih berisi. Twinky menyampaikan, orang tua bisa mengajak anak untuk role play guna membantu empati. ’’Kak, kalau kakak berbadan gede lebih sehat daripada temannya. Lalu, teman kakak bilang, jangan berteman sama kakak. Kakak sedih nggak? Sedih kan?” ujarnya. 

Tanya Perasaan Anak setelah Bermain

JOGITA Anggita Hutabarat tak pernah absen untuk melihat dan memantau malaikat kecilnya, Gantari, saat bermain dengan temannya. Dia selalu bertanya kenapa Gantari nyaman dan senang bermain dengan si A, misalnya. ’’Begitu pun ketika Gantari kok sudah jarang bermain dengan temannya si B. Konfirmasi juga tentang perasaan Gantari, tadi senang main sama si C nggak?” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Selain itu, lanjut Jogita, dirinya menanyakan kepada Gantari tentang apa yang disukai dan tidak setelah bermain. Dari tiga hal tersebut, dia bisa menyimpulkan mana teman yang baik atau tidak untuk buah hatinya.

Ibu dua anak itu pernah mendapati teman Gantari yang toksik karena Gantari dimanipulatif. Jogita menjelaskan bahwa perilaku temannya tidak baik. Dia menyarankan Gantari bermain dengan teman lain.

Perempuan yang juga aktif dalam kegiatan literasi itu menilai, intervensi dari pihaknya sebagai orang tua pasti ada. Dia memberikan opini berupa diskusi sama Gantari. Misalnya, teman Gantari nonton YouTube yang film horor. ’’Harusnya nggak boleh kan. Aku diskusi sama Gantari, itu good or bad. Menurut Gantari harusnya si teman bagaimana. Sejauh ini, dia paham dan nggak ikut-ikutan, jadi alhamdulillah,” jelasnya.

Problem yang paling Jogita tidak suka sama teman Gantari adalah yang manipulatif itu. Ketika Gantari tidak ada teman lain, Gantari dibaikin. Misalnya, bermain sama Gantari. Kemudian, apabila ada orang lain yang teman Gantari tidak suka, Gantari diajak untuk ikut membenci. ’’Namun, kalau ada temannya yang lebih disukai dari Gantari, Gantari diposisikan sebagai anak yang dimusuhi dan dijauhi gitu,” tambahnya.

Terpisah, Melisa Kusnadi memiliki cara sendiri untuk memperkenalkan konsep berteman kepada anaknya, Kathleen Renee. Usia Kathleen memasuki 3 tahun. ’’Kalau konsep pertemanan, anak ini belum mulai sekolah. Jadi, temannya Kathleen dari circle pertemananku,” tuturnya.

Biasanya, lanjut Melisa, dirinya akan bertanya dulu ke temannya. Anak temannya umur berapa. Apabila usianya lebih senior dari anaknya, Melisa yang langsung ngomong ke anaknya. ’’Kathleen, ini si kakak. Panggilnya koko-cece kan. Yuk, kenalan! Aku yang berusaha untuk anakku kenalan dulu,” jelasnya.

Lantas, apa yang dilakukan Melisa ketika Kathleen bertengkar saat bermain dengan temannya? Melisa akan mencari tahu. Mengapa Kathleen bertengkar. Misalnya, karena rebutan mainan.

Baca Juga: Samuel Hartono, Pemilik Showroom Disidang karena Jual Mobil tanpa BPKB

Melisa bakal menanyakan itu mainan siapa. Jika mainan itu milik Kathleen dan dipegang Kathleen terlebih dulu, kemudian direbut teman Kathleen, Melisa berusaha memberikan pemahaman. ’’Jangan dulu ya. Mainannya masih dipakai Kathleen,” ujarnya. Melisa tidak pernah memberikan pemahaman dengan suara nada tinggi. Dia akan berusaha memberikan pengertian dengan bahasa anak. Tidak ada kekerasan verbal atau nonverbal.


Ketika Anak Mulai Tahu Siapa Temannya, Boleh Bolo-boloan Nggak, Ma?