Tionghoa, Perempuan, dan Bahasa

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tionghoa, Perempuan, dan Bahasa


Lian Gouw menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana kaum Tionghoa berada pada posisi ambigu di Indonesia. Hartiningtyas sebagai penerjemah harus bekerja keras mencari padanan kata asing di buku ini ke dalam bahasa Indonesia.

NOVEL yang baik, menurut saya, serupa oase di tengah gurun. Ia menyegarkan. Memberi semangat. Namun juga menimbulkan pemikiran/perenungan.

Tetapi, ada tambahan rasa baru ketika saya membaca Mengadang Pusaran: panas! Baru membaca satu bab, saya merasa ditaboki oleh penulisnya, Lian Gouw.

Sejarah Tionghoa di Indonesia

Kaum Tionghoa adalah bagian dari aktor-aktor yang hidup dan menorehkan kisah di Nusantara, hingga kehadirannya turut mengusung pembentukan budaya, kosakata bahasa, dan ragam kuliner. Bagaimana Indonesia dikenang oleh orang asing, baik yang pernah mampir sebagai pelancong, pekerja, maupun sekadar numpang lahir, inilah yang perlu diketahui khalayak.

Buku ini menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana kaum Tionghoa berada pada posisi ambigu di Indonesia. Darah mereka Tionghoa, tetapi mereka hidup di Nusantara, sementara Belanda menjadi penguasa sehingga secara politik mereka dipaksa menjadi Belanda.

Novel ini juga mengabarkan pada kita betapa rendahnya status sosial pribumi di masa itu, kelas pembantu, tidak sekolah, tidak mampu berbahasa Belanda, dan secara ekonomi adalah golongan kaum gedibal.

Bagaimana mungkin para petani dan pembantu bisa menjalankan pemerintahan?” (halaman 163).

Namun, kaum Tionghoa pun sadar bahwa bagaimanapun Belanda ini penjajah yang rakus. Dan, sebagai penduduk nonpribumi, kaum Tionghoa harus bisa hidup berdampingan dengan penjajah. Krisis identitas pada masa pendudukan terekam kuat seperti dialami para tokohnya.

Apa pun yang telah diberikan orang Belanda akan diminta kembali dua kali lipat (halaman 305).

Perempuan-Perempuan Perkasa

Mengadang Pusaran dihidupkan oleh tiga karakter kuat perempuan yang mewakili tiga generasi. Pertama, Nanna, sosok ibu yang memegang adat istiadat Tionghoa, namun hidup dalam pengaruh budaya Belanda dari mendiang suaminya.

Lalu ada Carolien Ong atau Ong Kway Lien, anak bungsu Nanna. Ia menjadi Belanda sepenuhnya dan melupakan darah Tionghoa yang mengalir di tubuhnya. Meski ia akhirnya menikah dengan Po Han yang juga Tionghoa, tetapi menikah tanpa restu keluarga dan menikah pada usia 30 tahun. Dan, ketiga, Jenny atau Lee Siu Yin, putri tunggal Carolien, sosok gadis yang tumbuh dalam dua era, masa penjajahan dan pasca kemerdekaan Indonesia.

Ada dua kritik saya pada Lian Gouw. Jika ingin menampilkan tokoh perempuan berpendirian kuat, seharusnya Carolien tidak dibuat kembali ke rumah keluarga besar saat berpisah dengan Po Han. Perempuan merdeka yang berani membuat keputusan menikah tanpa restu seharusnya memikirkan langkah antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi, tidak dengan kembali ke rumah dengan menjilat ludahnya sendiri.

Itu yang pertama. Yang kedua, cinta yang diperjuangkan dengan heroik tapi berkarat oleh soal ekonomi itu terlalu klise.

Prajurit Bahasa

Lian Gouw adalah perempuan Indonesia berdarah Tionghoa yang dididik dengan cara Belanda. Ia menggunakan bahasa Belanda sehari-hari.

Kondisi politik memaksa keluarga Lian Gouw pindah ke Amerika pada tahun ’60-an. Lima puluh tahun kemudian Lian Gouw kembali ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia. Dan sejak itu ia merasa prihatin bahwa bahasa ini terlalu banyak menggunakan kata serapan.

Itulah sebabnya dalam penerjemahan Only A Girl, Hartiningtyas sebagai penerjemah bekerja keras mencari padanan kata asing ke dalam bahasa Indonesia. Tak heran jika dalam buku ini banyak ditemui kosakata yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah kita kenal sebelumnya seperti makmal, bersoja, kerani, sepen, dan kain mota.

Yang istimewa dari Lian Gouw adalah ia memperlakukan para penerjemahnya seperti anak baptis. Penerjemahnya ini diberi tempat di samping penulis, tidak dijadikan konco wingking. ”Mengadang Pusaran kan buku kamu, buku ibu adalah Only A Girl.” Demikian setiap saat Lian Gouw menerima undangan bicara buku selalu sang penerjemah didudukkan setara.

Kegigihan Lian Gouw dalam menerapkan bahasa Indonesia tanpa serapan ini diterapkan dalam komunikasi dengan para penulis yang ditemuinya. Istilah yang digunakan adalah para penulis harus menjadi prajurit bahasa yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia tanpa serapan.

Sebagai konsekuensi, Lian Gouw akan meminta siapa pun makan cabai rawit sebiji untuk sebuah kata asing yang digunakan. Tak heran jika kami, para pengurus Perempuan Penulis Padma yang mengadakan bedah buku Mengadang Pusaran, sangat berhati-hati dalam memilih kosakata.

Meski hukuman cabai rawit menjadi kelakar, kami merasa tertampar. Jika Lian Gouw yang baru menulis novel di usia 70 tahun, cintanya pada Indonesia justru mengembang saat hidup ribuan mil dari Indonesia, lalu bagaimana kami?

”Saya ingin memperkenalkan Indonesia secara mandiri di dunia internasional. Apa yang kita tulis bisa menjadi gizi atau racun untuk sesama bangsa. Tanggung jawab yang paling berat ada di pundak penulis Inonesia.” Demikian katanya. (*)


 

  • Judul: Mengadang Pusaran
  • Penulis: Lian Gouw
  • Penerjemah: Widjati Hartiningtyas
  • Penerbit: Kanisius
  • Tebal: 440 halaman
  • ISBN: 978-979-21-6697-2

 

*) Wina Bojonegoro, Pendiri Perempuan Penulis Padma (Perlima); menerima Anugerah Sabda Budaya Sastra dari Universitas Brawijaya (2018); buku terakhirnya Kisah-Kisah Pembunuh Sepi (kumpulan cerpen, 2020).


Tionghoa, Perempuan, dan Bahasa