Internalisasi Nilai Sebagai Kunci Transformasi Aparatur Sipil Negara

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Internalisasi Nilai Sebagai Kunci Transformasi Aparatur Sipil Negara


Transformasi adalah Keniscayaan

Pada 2021 Pemerintah Pusat kembali membuka lowongan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri atas Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tidak tanggung-tanggung, jumlah calon pegawai yang direkrut untuk menduduki suatu formasi tertentu mencapai angka 676.733 lowongan, dengan 128.016 lowongan bagi CPNS dan 548.717 lowongan bagi PPPK. Formasi bagi CPNS dan PPPK tersebut diproyeksikan menduduki jabatan administrator dan keahlian untuk instansi pusat seperti kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah baik tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Jumlah formasi yang dibuka pada tahun ini, diyakini lebih banyak dari seleksi Calon ASN pada 2019 lalu. Dengan jumlah formasi yang begitu fantastis, pendaftaran CPNS dan PPPK bahkan menyedot hingga lebih dari 4 juta pelamar. Hal itu tentu tidak sebanding lantaran jumlah pelamar yang sangat banyak, sementara jumlah lowongan yang tersedia terbatas.

Berdasarkan fakta di atas, seleksi calon ASN menjadi amat ketat karena satu formasi dapat diperebutkan puluhan, ratusan, bahkan hingga ribuan orang. Dengan demikian, pelamar berupaya segenap cara untuk mempersiapkan diri mereka agar berhasil dalam ujian seleksi. Bahkan ada pihak yang rela melepas pekerjaan sebelumnya, untuk fokus mengikuti bimbingan belajar ujian seleksi CPNS melalui simulasi daring yang diselenggarakan oleh penyedia jasa pelatihan. Acap kali seleksi CPNS menjadi ladang cuan bagi mereka yang memanfaatkan momentum.

Banyak orang bercita-cita sebagai PNS bukan tanpa sebab. Alasan klasik yang sering mengemuka antara lain jaminan hari tua berupa pensiun, dorongan keluarga, serta mendapatkan banyak kemudahan. Di samping alasan-alasan itu, penulis yakin masih banyak lagi pendapat lain yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi PNS.

Di satu sisi, stigma masyarakat pada PNS yang telah lama melekat tidak serta merta surut dari ingatan, meskipun reformasi di tubuh ASN masih terus dilakukan untuk mewujudkan pegawai negeri yang akuntabel dan berintegritas. Pegawai pemerintah masih sering diasosiasikan bahwa mereka tidak profesional dalam bekerja, hanya mengejar status sosial di tengah masyarakat, berperilaku koruptif, bahkan hingga labelisasi berupa mengejar jabatan demi kekuasaan atau terlibat politik praktis.

Labelisasi berupa stigma tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Tinggal bagaimana masyarakat sebagai pemberi mandat melihat ASN bekerja untuk mereka. Jika sampai detik ini masih ditemukan sejumlah kasus seperti anggaran yang tidak terserap maksimal dan juga pelayanan publik hadir dengan wajah ketus serta kurang responsif, maka stigma yang ada cukup mewakili perasaan masyarakat.

Namun apabila pelayanan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan publik, maka stigma tersebut harus diluruskan. Sehubungan itu, ASN tidak perlu baper menghadapi kritik, karena itu menjadi cambuk ASN untuk lebih baik.

Pertanyaan yang pantas diajukan untuk merespons fenomena di atas antara lain, apakah mereka yang terdorong menjadi PNS jiwanya benar-benar terpanggil untuk mengabdi melayani masyarakat?, Atau sekadar mencari rasa “aman” apabila status PNS dalam genggaman?. Jawaban atas pertanyan-pertanyaan itu, tentunya hanya Tuhan dan pelamar CPNS yang tahu.

ASN sebagai penyelenggara negara yang berlandaskan etika publik harus mengedepankan kepentingan masyarakat. Hal itu karena ASN bukan sekadar menjadi birokrat, namun lebih menekankan pada aspek fungsi sebagai pelayan publik. Sehubungan itu, transformasi di tubuh birokrasi khususnya ASN sudah semestinya menjadi keniscayaan. Tanpa transformasi, perubahan dan inovasi yang menjadi tujuan masih sebatas angan.

Seorang perempuan filsuf Indonesia, Karlina Supelli, pernah menggagas “Delapan Pokok Siasat Kebudayaan” yang disampaikan dalam Pidato Kebudayaan pada Dewan Kebudayaan Jakarta 2013 dengan judul “Kebudayaan dan Kegagapan Kita”. Setidaknya ada empat dari delapan poin yang relevan untuk dijadikan acuan dalam rangka transformasi di tubuh ASN,  jika ditinjau berdasarkan stigma yang selama ini melekat pada ASN, yaitu adagium “asal bapak senang”; kerja santai; dan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang mengakar.

Empat poin siasat kebudayaan tersebut ialah pertama, melatih kebiasaan untuk mengakui kesalahan dan berkata benar. Kedua, membangun kebiasaan baru seluas bangsa untuk menilai bahwa korupsi, plagiarisme, dan menyontek bukan hal lazim tetapi kriminalitas. Ketiga, mengembalikan makna profesi sebagai janji publik, bukan sekadar keahlian. Keempat, melatih bertindak karena komitmen, bukan semata karena suka.

Berdasar poin yang disampaikan di atas, saya meyakini jika transformasi semestinya dimaknai sebagai perubahan yang tidak hanya bersifat narasi-normatif. Namun dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh untuk menyentuh pokok persoalan. Selain itu, penting untuk digarisbawahi, transformasi yang dijalankan tidak sebatas dalam wujud pencitraan (branding), keramah-tamahan, dan simbolisme standar ganda. Akan tetapi lebih menekankan prinsip untuk tidak merugikan kepentingan publik/keuangan negara; menjaga kewibawaan pribadi, keluarga, dan institusi; mencegah konflik kepentingan; serta dapat memperlakukan setiap warga negara secara adil dan proporsional. Dengan demikian fungsi ASN dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN benar-benar direalisasikan dalam tindakan faktual, sehingga bukan sekadar jargon yang gempitanya sesaat dan meredup kemudian.

Internaliasi Nilai Dasar ASN

Akhir Juli lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan core value (nilai dasar) ASN bertajuk “berAKHLAK”, yang merupakan kepanjangan dari berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif. Nilai dasar tersebut dijadikan acuan dalam menjalankan akselerasi transformasi ASN dengan tujuan mewujudkan birokrasi yang dinamis untuk mendukung pembangunan Indonesia.

Apa yang menarik dari tajuk tersebut adalah keberadaan kata ‘akhlak’ yang sarat makna. Secara etimologi, kata akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) berarti budi pekerti. Otomatis apa yang disampaikan Presiden adalah sebuah isyarat, bahwa ASN harus memiliki budi pekerti untuk melayani, bukan dilayani. Pada prinsipnya, sikap tersebut dapat diterjemahkan sebagai integritas. Sementara itu, nilai dasar ASN harus dipahami oleh setiap pejabat publik sebagai pedoman yang menekankan Pancasila, profesionalisme, efisiensi, efektivitas, netralitas, demokrasi, serta berorientasi kualitas.

Dalam hal yang erat kaitanya dengan nilai dasar dan kepentingan publik, ASN tidak cukup hanya diberikan definisi, perangkat norma, dan regulasi seperti peraturan dan undang-undang tanpa rujukan mengenai bagaimana etika dan standar moral yang berlaku direalisasikan. Pertanyaannya, bagaimana cara agar nilai-nilai yang berwujud abstrak dan tidak konkret itu hidup dalam ranah emosional jiwa individu?.

Nilai-nilai merupakan konsep atau gagasan yang hidup dalam alam pikiran, sehingga berfungsi sebagai pedoman. Ditinjau berdasarkan konteks kebudayaan, Koentjaraningrat (1981) mengatakan, suatu konsep khususnya nilai-nilai budaya akan mengakar apabila diresapi sejak dini. Proses penghayatan dan peresapan itulah yang disebut dengan internalisasi. KBBI (2016) menerjemahkan internalisasi sebagai penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran dapat diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Berdasarkan pemaknaan di atas, nilai-nilai tidak hanya dihayati, tetapi harus ditanamkan ke dalam hati dan pikiran sebagai kesadaran. Dengan kesadaran, ASN akan diingatkan kembali atas kedudukan dan tanggung jawab mereka sebagai ‘pelayan’, sehingga akan mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan masyarakat. Maka hati nurani akan senantiasa terketuk dengan demikian mencegah terjadinya peluang yang bertentangan dengan etika dan moral.

Namun demikian, internalisasi nilai bukan perkara mudah. Hal itu membutuhkan proses yang memakan waktu, serta tidak dapat dilakukan sekejap mata. Bisa jadi saat proses internalisasi sedang berlangsung dihadapkan dengan tantangan maupun kendala yang bukan berasal dari pihak luar, melainkan dari kalangan internal ASN itu sendiri. Dengan kata lain pihak-pihak/oknum yang tidak ingin berubah atau enggan keluar dari zona nyaman.

Atas dasar itulah nilai dasar yang telah diluncurkan tidak serta merta mudah begitu saja diimplementasikan. Dalam pelaksanaanya sangat dibutuhkan komitmen kolektif dari aparatur level bawah hingga level atas. Sementara itu, untuk meresapi suatu nilai dibutuhkan hati dan pikiran yang terbuka, sehingga manifestasi nilai-nilai “berAKHLAK” dapat diaktualisasikan ke dalam watak dan perilaku pada budaya kerja yang mengedepankan moral.

Jepang sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai dan budaya telah sukses melakukan transformasi di segala bidang. Tidak hanya di bidang teknologi, namun juga di bidang pengelolaan aparatur sipil negara. Di negara matahari terbit itu, telah tertanam di dalam diri masyarakat bahwa pegawai negeri adalah pengabdi untuk seluruh rakyat, bukan sebagian kelompok tertentu. Etos kerja yang berorientasi kepuasan publik menjadi cara bagaimana mereka melayani masyarakat dengan optimal. Dalam hal promosi dan rotasi misalnya, Pemerintah Jepang berpedoman pada merit system atau kinerja, bukan berdasarkan kepangkatan atau golongan. Sementara itu, sistem seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dan sepak terjang calon pegawai saat kuliah dan hidup di tengah masyarakat. Dengan demikian, tidak dipungkiri bahwa setiap upaya yang dilakukan pegawai negeri di Jepang berorientasi pelayanan prima bagi warganya.

Sudah semestinya ASN di Indonesia mengubah orientasi mereka bahwa menjadi pegawai negeri bukanlah tujuan, namun cara mereka berbakti kepada bangsa dan negara dengan mengedepankan prinsip pelayanan kepada masyarakat. Atas dasar itu, hati kita akan tersadar jika menjadi ASN bukanlah suatu jabatan khusus, melainkan amanat untuk lebih peka terhadap isu serta permasalahan yang ada, sehingga tanggap untuk mencari solusi. Selain itu, sebagai ASN juga dituntut untuk senantiasa menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, perseorangan, maupun golongan. Dengan demikian konflik kepentingan dan perilaku koruptif yang kerap kali beririsan dengan birokrasi dapat dicegah dan dihindari.

Dewasa ini bukan lagi perang dengan mengangkat senjata, tetapi perang dengan budaya, ideologi, dan kreativitas. Bagi mereka yang tidak ingin berubah, maka tidak hanya ketinggalan zaman tetapi akan digilas zaman. Mumpung masih ada waktu mari kita optimistis, tepikan pesimistis. Semoga ASN di Indonesia senantiasa konsisten dalam berperilaku sebagai penyelenggara negara, bukan pihak yang punya negara.

 

Wahyu Seto Aji. Mantan reporter berita televisi yang kini menjadi ASN.
Mulai awal 2021, mengabdikan diri sebagai CPNS Pamong Budaya Ahli Pertama pada
Pemerintah Kabupaten Semarang. Tulisannya yang berjudul “KPK: Anak Tangga dan Kisahnya” pernah di muat dalam buku “Serpihan Kisah Jurnalis Tiang Bendera: Cerita-Cerita yang Tak Jadi Berita” (Jakarta: Tempo Publishing, 2018).


Internalisasi Nilai Sebagai Kunci Transformasi Aparatur Sipil Negara