Pemuliaan Bulu Tangkis

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pemuliaan Bulu Tangkis


Tetesan keringat berjatuhan di lantai. Mulut-mulut berteriak dan berdoa. Epilog puitis pun terjadi. Tetesan air mata berjatuhan di lantai. Kemenangan menghasilkan tangisan, 2 Agustus 2021.

GREYSIA Polii dan Apriyani Rahayu memberikan air mata di tempat bersejarah: Musahino Forest Sports Plaza, Tokyo, Jepang. Keringat dan air mata dalam Olimpade Tokyo 2020. Medali emas itu persembahan untuk kehormatan Indonesia.

Pemandangan dan suasana itu berbeda dari puisi berjudul ”Kembalikan Indonesia Padaku” gubahan Taufiq Ismail. Pada masa 1970-an, Indonesia menggelar pembangunan nasional. Soeharto ingin Indonesia maju dan wajib baru. Taufiq Ismail menulis: Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam/ dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa. Ia tak salah menulis. Indonesia moncer dengan bulu tangkis, bukan pingpong. Larik-larik telat diralat menjadi: Hari depan Indonesia adalah pertandingan bulu tangkis siang malam… Kita tak bisa mengganti ”telur angsa” dengan ”bulu angsa”. Bola kok bulu tangkis memang mengingatkan angsa, tapi bukan telur. Taufiq Ismail mungkin khilaf atau memang belum berurusan dengan bulu tangkis. Puisi tak bisa diralat.

Pada masa berbeda, muncul puisi berjudul ”Bulutangkis” gubahan Herry Gendut Janarto (2016). Puisi memoncerkan bulu tangkis, memuat kocak dan tragis. Ia menulis: Kita pernah berjaya raya/ Ah, kini bagai hamba sahaya/ Lebih sering kalah tanding apa daya/ Cuma sesekali bercahaya/ Bagi bangsa ini berbahaya/ Bisa-bisa bulutangkis jadi bulutangis. Bulutangkis menjadikan Indonesia ”ditakuti” negara-negara lain. Pada suatu masa, kemenangan tak selalu diraih. Para pemain Indonesia sering kalah. Jutaan orang Indonesia kecewa.

Impian sepanjang masa adalah lagu Indonesia Raya diperdengarkan dan bendera Merah Putih berkibar. Indonesia meraih kemenangan. Editorial di Jawa Pos, 28 Juli 2021, memuat pengharapan: ”Di Tokyo kali ini, bulu tangkis kembali diharapkan meneruskan tradisi itu. Meski, perjalanan sangat terjal. Tapi, dengan doa dari rakyat Indonesia dan semangat atlet di lapangan, semua tidak ada yang tak mungkin.” Bulu tangkis itu emas!

Sejak puluhan tahun lalu, bulu tangkis menjadi pikat. Kita mengikuti sejenak memoar pengarang novel berjudul Balada Si Roy. Gol A Gong tak menulis novel bulu tangkis, tapi menulis memoar berjudul Aku, Anak Matahari (2008). ”Aku membayangkan yang mengangkat piala kejuaraan atau medali emas adalah aku,” tulis Gol A Gong. Ia pun menekuni bulu tangkis. Pada saat kelas 6 SD, Gol A Gong mengenang: ”Ada pelajaran olahraga badminton. Semua murid berkumpul di aula sekolah. Guru olahraga melarangku ikut karena aku dianggap tidak akan bisa bermain badminton dengan satu tangan. Aku pulang ke rumah dengan darah bergolak…” Gol A Gong marah, tapi membuktikan bisa bermain bulu tangkis dengan satu tangan kanan. Tangan kiri buntung sesikut sejak kelas 4 SD. Pada masa muda, Gol A Gong menjadi juara. Ia pernah menjadi pemenang di Fespic Games di Solo (1989) dan Jepang (1990). Gol A Gong bermain bulu tangkis dan menulis.

Kita berlanjut mengingat novel berjudul Opera Bulu Tangkis 1995 (1985) gubahan Titi Nginung. Novel jarang mendapat perhatian. Novel tak sekondang Canting. Titi Nginung itu Arswendo Atmowiloto. Novel memuat cerita bulu tangkis saat Indonesia berusia setengah abad. Bulu tangkis itu kehormatan, tapi bisa menjadi skandal dan aib. Lucu dan ironi.

Pengarang berimajinasi bulu tangkis akhir abad XX: ”Tidak percuma nama besar Pangeran Khirom yang harum, ketika berniat membangun sebuah gedung bulu tangkis termegah di dunia. Lapangan utama dibangun dengan sistem mutakhir. Sehingga tidak lagi memerlukan penjaga garis ataupun net berupa jaring. Semuanya cukup dilakukan dengan pengendalian sinar yang diatur dengan sebuah komputer kecil.” Kini kita mengerti olahraga memerlukan teknologi mutakhir. Bulu tangkis tetap menggunakan jaring net dan para penjaga garis tetap berada di lapangan. Teknologi digunakan, tapi tak berlebihan.

Bulu tangkis berkaitan dengan teknologi, gengsi negara, permainan politik, bisnis, nasionalisme, dan lain-lain. Penjudulan ”opera” membuat pembaca menikmati ”pertunjukan” mendebarkan. Tokoh bernama Bajang Kirek bermain dalam ”opera” mengejutkan penuh siasat, sanggahan, penghindaran, atau mufakat. Bajang Kirek biasa mendapat godaan menang-kalah dengan cara suap, teror, dan sandiwara. Godaan memicu permusuhan dan kecamuk.

Bajang Kirek adalah pemenang! Ia berpidato di panggung kehormatan diawali mendengarkan lagu Indonesia Raya. Ia agak kikuk: ”Ini panggung kehormatan untuk saya. Saya pantas menerima, seperti juga siapa pun. Ini panggung saya karena saya pemain bulu tangkis. Saya tidak pernah berpikir mempunyai peranan besar dalam bidang lain. Bapak-bapak, ibu-ibu, para tokoh ulama, dan cerdik pandai menerjemahkan apa yang saya lakukan menjadi bermakna. Kebetulan simbol-simbol itu dari saya, yang begitu gampang ditangkap karena saya disorot. Sebenarnya apa yang saya miliki hanyalah kejujuran. Itu yang membuat saya selamat sampai sekarang.”

Baca juga: Perempuan dan Kesetaraan dalam Olahraga

Pada 2021, Indonesia terbukti meraih medali emas. Keringat dan tangisan terberikan. Medali emas itu kehormatan! Bulu tangkis terbukti membahagiakan dan mengharukan. Kita pun menanti para pengarang rajin menulis puisi, cerita pendek, atau novel yang memuliakan bulu tangkis. Begitu. (*)

BANDUNG MAWARDI

Kuncen di Bilik Literasi Penulis buku Silih Berganti (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019)


Pemuliaan Bulu Tangkis