TPNPB-OPM Akan Gugat Pemerintah Indonesia ke Pengadilan Internasional

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

TPNPB-OPM Akan Gugat Pemerintah Indonesia ke Pengadilan Internasional


JawaPos.com – Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD resmi memasukkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Organisasi Papua Merdeka ke dalam grup teroris. Penyampaikan Mahfud MD ini banyak menuai pro kontra.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdek (TPNPB-OPM) melalui Juru Bicaranya, Sebby Sembom dengan tegas menolak status teroris yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada mereka.

Mereka tak ingin status itu melekat bahkan jika dipaksakan oleh Pemerintah Indonesia, maka mereka akan mengajukan gugatan ke dunia internasional.

“Jika pemerintah Indonesia secara konstitusi mengumukan TPNPB-OPM dan organisasi perjuangan kemerdekaan lain sebagai organisasi teroris, maka kami siap ajukan masalah ini ke hukum internasional untuk dilakukan uji materi,” kata Jubir TPNPB, Sebby Sembom kepada Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group), Kamis (29/4).

Sebby mengatakan, TPNPB sudah memiliki kuasa hukum, dan pihak kuasa hukum menyampaikan bahwa jika Pemerintah Indonesia berani memasukan TPNPB sebagai organisasi teroris, maka pihaknya sangat siap untuk membawa masalah ini ke pengadilan internasional. “Kami sangat siap jika dipaksakan,” tegasnya.

Ia sendiri menolak jika TPNPB dikategorikan kelompok teroris, meski yang biasa dilakukan kelompok ini adalah menembak lalu kabur. Sebby menyebut bahwa yang dilakukan itu bagian dari perang gerilya yang sudah dicatat dalam hukum perang international. “Jadi dunia tidak bisa menyalahkan taktik gerilya ini,” tambahnya.

Sebby Sembom justru mencatat jika Pemerintah Indonesia keliru dan terlihat panik, sehingga mau mengambil kebijakan yang tabrak tembok seperti ini.

“Ingat, kami TPNPB-OPM siap menggunakan mekanisme hukum PBB jika Indonesia menganggap kami TPNPB-OPM sebagai organisasi teroris dan kami siap menunggu di pintu hukum, sekalipun Indonesia munggunakan jalur hukum kriminal internasional,” ancamnya.

Ia melihat Indonesia salah kaprah dengan menempelkan definisi teroris. Mengingat teroris adalah agenda global dan kebijakan internasional tentang pemberantasan terorisme ini secara dimiliki semua negara. “Kami TPNPB-OPM akan siap mendeklasikan kampanye global bahwa Indonesia adalah negara teroris. Kami sudah punya ahli hukum yang akan membedah masalah kami,” pungkasnya.

Tanggapan juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Perwakilan Papua yang memiliki dua pernyataan sikap menyikapi penyampaikan Mahfud MD tersebut.

Pertama, Komnas HAM secara kelembagaan nasional tidak menerima bahwa KKB yang ada di Papua dikategorikan sebagai kelompok teroris. Karena hal ini menunjukan negara kehabisan kebijaksanaan untuk penanganan warga negaranya yang melakukan pembangkangan.

Kedua, kelompok ini (KKB dan OPM-red) tidak memenuhi unsur global sebagai organisasi teroris yang oleh negara bisa mengumumkan dia sebagai organisasi teroris. Karena KKB dan OPM tidak berafiliasi dengan organisasi teroris global.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan, karena negara sudah mengumumkan ini, maka sikap Komnas HAM akan melakukan monitoring terhadap seluruh kebijakan negara yang menetapkan KKB dan OPM sebagai organisasi teroris.

Baca juga: Aparat Terus Buru KKB, Kontak Senjata Masih Terjadi di Ilaga

“Kami akan melakukan monitoring terhadap seluruh pengiriman pasukan perkuatan untuk melakukan operasi di tanah Papua. Terutama di daerah yang sedang berkonflik. Selain melakukan monitoring, Komnas HAM akan berkoordinasi dengan satuan yang ada di Papua, baik dengan Panglima Kodam, Kapolda dan para bupati,” ucap Frits kepada Cenderawasih Pos.

Komnas HAM juga mendesak Gubernur Papua untuk sesegara mungkin dalam minggu ini mengundang para bupati yang ada di Papua, MRP dan Komnas HAM untuk duduk menyikapi persoalan ini.

“Kita harus duduk membicarakan ini. Ketika hari ini (kemarin, red) Menkopolhukam mengumumkan gerakan KKB dan OPM sebagai kelompok teroris, maka orang orang yang jalan menggunakan simbol bintang kejora langsung ditangkap, dengan alasan itu simbol-simbol teroris,” tegasnya.

Frits memiliki keyakinan kepada Panglima TNI, Kapolri, Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih untuk tetap menghormati HAM. Penetapan KKB sebagai teroris, maka operasi penumpasan KKB tetap menghormati prinsip HAM.

“Komnas HAM punya keyakinan kekerasan hanya bisa diselesaikan dengan dialog. Tidak ada kekerasan dalam sejarah peradaban manusia dimana kekerasan diselesaikan dengan kekerasan. Dalam konteks HAM, kekerasan hanya bisa diakhiri dengan dialog yang bermartabat,” papar Frits.

Dikatakan Frits, organisasi teroris bukan sifat lokal melainkan berafiliasi secara global. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah TPNPB-OPM dan KKB yang ada di Papua pernah melakukan kekerasan di luar Papua seperti Bali, Makassar atau pulau Jawa bahkan luar negeri.

“Jika KKB dan OPM belum pernah melalukan kekerasan di daerah tersebut, bagaimana kita bisa memasukan dia sebagai unsur Organisasi Teroris,” ucap Frits.

Lanjut Frits, kalau dia KKB maka pendekatannya adalah pendekatan penegakan hukum. Kalau dia dibawa OPM, maka penyelesaiannya menggunakan mekanisme dialog. Dalam perspektif HAM, perjuangan negara merdeka menjadi kewenangan dari satu lembaga yakni PBB untuk menguji keabsahan dari perjuangan sebuah negara.

“Hari ini orang-orang itu yang merupakan warga negara Indonesia tidak berafiliasi dengan jaringan teroris internasional, tetapi pemerintah telah memutuskan dan menetapkan warga negaranya sendiri sebagai teroris di dalam negara. Ini menunjukan bahwa kita memiliki kelemahan dalam kebijakan strategis untuk menyelesaikan konflik di Papua,” tegasnya.

Lanjut Frits bahwa kelompok ini melakukan kekerasan dan telah menelan korban jiwa, iya. Karena itu harus ada penegakan hukum terhadap mereka. Dimana dalam prespektif HAM, semua orang yang melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan harus ada tindakan penegakan hukum yang terukur.

“Komnas HAM mendukung secara penuh pengerahan pasukan untuk memastikan situasi keamanan bagi warga negara Indonesia yang ada di Papua untuk memastikan pemenuhan HAM atas rasa aman. Tetapi Komnas HAM tidak mendukung kalau kemudian kelompok kecil ini dikategorikan sebagai organisas teroris. Karena syarat suatu kelompok menjadi organisasi teroris ketika dia beravailiasi dengan jaringan teroris internasioanal,” pungkasnya.

Secara terpisah, Dikretur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer, SH, M.Si mengatakan, dirinya sudah menduga sebelum TPN-OPM ditetapkan sebagai organisasi teroris, ada pengkondisian penembakan terhadap warga sipil di antaranya guru, tukang ojek dan tindakan kriminal yang lain, kemudian kambing hitamnya adalah TPN-OPM atau yang selalu disebut TNI-Polri sebagai KKB.

Menurut Gustaf, rentetan korban penembakan ini tanpa dilakukan investigasi yang komprehensif penyebab kejadian tersebut dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

“Misalnya kita tidak pernah dengar korbannya diautopsi untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya, menemukan peluru dan senjata yang digunakan, supaya kita tahu apakah ini dari kesatuan di dalam negara atau dari musuh,” ujarnya melalui pesan tertulis kepada Cenderawasih Pos.

Menurut Gustaf, hal ini tidak pernah dilakukan sesuai dengan standar pembuktian dalam hukum acara pidana di negara ini. Langkah yang dilakukan pemerintah selalu reaktif dan menggunakan cara-cara primitif berupa balas dendam untuk menyelesaikan masalah.

“Cara-cara seperti ini yang menimbulkan pelanggaran HAM dan sering terjadi tanpa proses hukum terhadap pelakunya di Pengadilan HAM,” katanya.

Dia menyampaikan pengkondisian pasca peristiwa di atas terlihat juga dengan adanya undangan bagi pemuda adat di Papua yang mendukung penetapan status OPM sebagai organisasi teroris.

“Penetapan ini menempatkan pemerintah dalam posisi yang tidak jelas dalam menyelesaikan masalah Papua. Pemerintah tampil berkontribusi bagi suburnya pelanggaran HAM di Papua, tanpa memilih jalan yang lebih bijak berupa dialog untuk meminimalisir korban di kalangan sipil dan penyelesaian Papua dilakukan secara komprehensif, tidak parsial,” ujar Gustaf.

Gustaf membeberkan bahwa penetapan status ini juga menunjukan tidak pahamnya elit dan aparat negara ini tentang teroris yg dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 2018. Dimana TPNPB-OPM tidak dapat dikategorikan sebagai organisasi teroris, karena beda dengan teroris yang dimaksud dalam UU ini yang sifatnya global.

“OPM ideologinya jelas untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua. Namun dalam gerakannya tidak menimbulkan korban massal seperti yang diatur dalam UU ini,” bebernya.

“Jelas tujuan mereka dan langkah yg terpenting bagi kami seharusnya ada langkah-langkah dialog. Dari pada menggunakan cara-cara kekerasan yang justru menimbulkan korban di masyarakat sipil dan negara tampil sebagai pelaku pelanggaran HAM yang tidak tersentuh,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Adat Lapago, Domenikus Sorabut menegaskan TPNPB-OPM lahir sebelum Indonesia merdeka yang mana embrionya ada sekira tahun 1942.

Menurut Sorabut, apabila organisasi ini bukan lahir sesudah Indonesia merdeka dan terjadi pemberontakan dalam negara, barulah pemerintah pusat bisa menjustifikasi teroris atau apapun yang mereka inginkan.

“Perjuangan Papua yang dilakukan TPNPB-OPM itu adalah perjuangan kebangsaan. Untuk itu, Jakarta tidak bisa serta merta menaikkan status dari organisasi ini, semena-mena. Karena akan menjadi kesalahan fatal yang dilakukan negara,”ungkapnya kepada Cenderawasih Pos..

Ia menyatakan antara TPNPB-OPM yang Jakarta sebut dengan teroris dan TNI-Polri, merupakan korban dari kesalahan kebijakan Negara. Dimana Sorabut menilai presiden gagal total untuk membangun Papua dalam berbagai pendekatan. Terlebih dalam pendekatan politik, karena status politik Papua di masa lalu belum diselesaikan sampai saat ini.

“Sampai saat ini Indonesia mengklaim Papua sudah diintegrasikan ke dalam negara Indonesia. Sedangkan Papua mengklaim sebagai aneksasi kedaulatan ke NKRI. Posisinya ada di situ dan tidak ada relevansi yang bisa menjustifikas TPNPB menjadi teroris,” jelasnya.

Menurut Sorabut, apabila pemerintah pusat menjadikan TNPB-OPM sebagai teroris, maka itu akan menjadi pukulan telak terhadap wajah negara Indonesia sendiri. Sebab meskipun dinaikkan status menjadi teroris, tetapi persoalan akan konflik di Papua tak akan selesai. Malahan akan tetap menjadi subur.

“Hari ini orang Papua dalam segala strata, mengerti tentang bagaimana mengklaim diri sebagai nasionalisme Papua. Baik yang sekolah di dalam dan di luar, itu sudah mulai mengklaim itu karena mereka tahu persoalan,” jelas Domenikus Sorabut.

Dijadikannya OPM sebagai terorisme menurut Sorabut, adalah keputusan yang fatal. Apalagi pernyataan ketua MPR RI yang serta merta terlalu emosional. Dimana setelah kejadian penembakan Kabinda Papua, ketua MPR RI mengeluarkan pernyataan yang dinilai sebagai pernyataan yang konyol. Apalagi orang Papua secara terbuka menyampaikan bahwa akar permasalahan Papua belum terselesaikan.

“Akar masalah yang dimaksud ini bukan persoalan Otsus Papua, pemekaran daerah dan kesejahteraan. Tetapi ini status politik masa lalu dan 4 akar persoalan itu telah dimunculkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),” tambahnya.

Hal senada disampaikan mantan Komisioner Komnas HAM RI periode 2012-2017, Natalius Pigai, SIP., yang mengaku tidak sependapat apabila TPNPB-OPM di Papua dicap sebagai teroris. “Standar internasional, TPNPB-OPM itu rebel dan combat,” ungkapnya, Kamis (29/4).


TPNPB-OPM Akan Gugat Pemerintah Indonesia ke Pengadilan Internasional