Budi Irawan, Seniman yang Melukis Ulang Kondisi Surabaya pada 1750

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Budi Irawan, Seniman yang Melukis Ulang Kondisi Surabaya pada 1750


Bagi Budi, dapat melukis suasana lampau itu sama saja memperpanjang ingatan. Meskipun, objek lukisan tersebut kini sudah mengalami banyak perubahan besar. Namun, adanya teknologi dan literatur mampu menjadi sarana untuk menghimpun informasi yang tersebar luas.

AZAMI RAMADHAN, Surabaya

PEMANDANGAN Surabaya. Di sebuah jalan berlatar sungai dan bertemu sebuah jembatan kecil. Ada dua pohon di sebelah kiri dan seorang yang berjalan menggunakan payung. Di sungai ada beberapa perahu. Di sisi lain, terdapat deretan rumah dan pepohonan. Tertulis tanda pada bagian langit lukisan, ’’SOURABAYA’’. Begitu kira-kira deskripsi lukisan Surabaya tempo doeloe dalam situs rijksmuseum.nl.

Lukisan topografi itu dibuat Johannes Rach.

Pria yang lahir pada 1720 di Denmark tersebut memperlihatkan situasi Surabaya pada 1750. Tentu, kondisi saat itu tidak seperti saat ini. Menurut beberapa sumber, wujud lukisan aslinya tidak ada di Indonesia. Tetapi, terpajang gagah di Belanda. Namun, karena kemajuan teknologi, pemandangan abad ke-18 itu dapat dinikmati secara digital.

Meski begitu, bagi Budi Irawan, menikmati lukisan melalui layar ponsel atau laptop terasa tidak cukup. Ilustrator asal kampung Pandean, Peneleh, itu memilih merepro lukisan lawas tersebut. Keinginan itu klop setelah komunitas Begandring Soerabaia memintanya untuk melukis ulang meski melalui perantara layar ponsel.

”Iya. Kepinginnya sudah lama. Tapi, baru tahun ini terealisasi,” kata pria 50 tahun itu.

Budi bukan hanya sekali ini melukis objek yang membutuhkan akurasi dan ketelitian. Sebelum melukis ulang karya Johannes Rach, dia pernah melukis beberapa objek yang mengandung nilai sejarah.

Misalnya, melukis suasana Gedung Siola dengan tema Siola membara yang mengisahkan pertempuran arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan. Lalu, suasana gedung di Jembatan Merah, kawasan Kembang Jepun, Gedung Cerutu di dekat Jalan Rajawali, dan suasana Jalan Pahlawan lengkap dengan trem listriknya terlukis di atas kanvas.

Dia juga sempat melukis tembok Museum Tugu Pahlawan yang mengambarkan cerita para tokoh bangsa di Surabaya. Dia menggambar bersama rekannya, Edy Marga.

Bagi dia, mural tembok sejarah di Tugu Pahlawan itu merupakan aktivitas yang memiliki kesan tersendiri. Apalagi berkaitan dengan sejarah kota yang membesarkannya.

Upaya tersebut juga dibarengi dengan riset dan pendalaman aktivitas para tokoh bangsa, terutama yang memiliki kaitan dengan perjuangan arek-arek Suroboyo. Mulai Gubernur Suryo, Doel Arnowo, Bung Tomo, lalu Mayjen Sungkono, HR Muhammad, hingga Residen Sudirman. ”Jadi, menceritakan kisah perjuangan mereka, mulai dari kecil sampai masa perjuangan, dan diwujudkan dengan gambar. Itu yang berkesan,” ungkapnya.

Dia menceritakan, riset sebelum melukis itu tidak langsung mengusapkan kuas dan memberi warna. Tapi, dia juga harus memahami warna, gaya baju, model pakaian, hingga aksesori lainnya, termasuk jenis senjata yang digunakan saat pertempuran atau masa mempertahankan kemerdekaan.

Termasuk melukis ulang karya Johannes Rach. Hasil diskusi dengan Begandring Soerabaia membuatnya melek informasi tentang kondisi Surabaya abad ke-18 dan kota dalam tembok saat itu. Dia mengaku mengetahui wajah Surabaya pada 1750 itu dari Rijkmuseum dan Asia Maior. ”Semua memang dari diskusi. Nggak papa lah, tua bukan penghalang mendalami sejarah kota sendiri,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, berdasar hasil diskusi dan sumber yang ada, lukisan yang direpro itu memperlihatkan suasana Kalimas Timur pada abad ke-18. ”Kalau sekarang itu menghadap ke Taman Sejarah dan sekitar Jembatan Merah Plaza. Jadi, dilihat dari Kembang Jepun,” jelas pria lulusan STM jurusan bangunan itu.

Dia menghabiskan waktu tiga hari untuk melukis ulang karya Johannes Rach. Dia mengungkapkan, karya Johannes Rach itu melukiskan situasi perkampungan Tionghoa dan pasar.

Menurut dia, di latar ada seorang warga Tionghoa yang berjalan memakai payung. Lalu, di sebelah kanan ada jembatan kayu yang melintasi muara sungai. Perahu penumpang melaju menuju pelabuhan Surabaya.

”Di seberang kanal itu permukiman kolonial. Beberapa sumber menyebut itu benteng kecil bernama Belvedere. Kota itu dikelilingi tembok, kecuali yang berbatasan dengan sungai,” jelasnya sembari membuka beberapa sumber buku pada Senin Malam.

Menurut dia, lukisan Johannes Rach itu masih berkaitan dengan kota dalam tembok sebagaimana peta dari Asia Maior yang mengambarkan Surabaya pada 1725.

Nah, Fort Belvedere atau Benteng Belvedere itu kini menjadi Jembatan Merah Plaza (JMP). ”Nek enggak maca dan buka buku maneh, apa ya ngerti kalau dulu di situ ada benteng,” ujarnya, lantas terbahak.

Dia melanjutkan, jika pembangunan kawasan itu diruntut, bekas Benteng Belvedere sempat dibangun Gubernur Jenderal Daendels sebagai bengkel artileri. Bengkel tersebut dikenal dengan nama Artillerie Constructie Winkel (ACW). Kini bekas lokasi ACW itu ditempati PT Telkom yang pada Januari–Februari 2008 ditemukan 12 pucuk meriam kuno dengan panjang yang bervariasi.

”Lukisannya di-print sekali. Untuk kenang-kenangan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid pas datang ke Surabaya,” ujarnya.

Baca Juga: Istri Awak Nanggala: Kalau Nanti Aku Pergi, kan Nggak Ada yang Belikan

Budi mengaku melukis memang jadi aktivitasnya sejak kecil. Mulai menggunakan media tanah, tembok, hingga kanvas. Kini dia memiliki keinginan kembali menggunakan kanvas sebagai media melukis bangunan cagar budaya maupun bangunan yang memiliki syarat sejarah di kawasan kota lama Surabaya. ”Jujur. Pengin seperti M. Sochieb. Pelukis asli Suroboyo. Beliau yang menginspirasi saya. Setidaknya bisa meneruskan meski melukis bangunan lawas,” terangnya. 

Saksikan video menarik berikut ini:


Budi Irawan, Seniman yang Melukis Ulang Kondisi Surabaya pada 1750