Perempuan dan Kesetaraan dalam Olahraga

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Perempuan dan Kesetaraan dalam Olahraga


MASYARAKAT Indonesia merasakan haru melihat perempuan-perempuan hebat memenangkan medali di pertandingan akbar, Olimpiade di Tokyo. Prestasi yang mereka raih tidak lepas dari kerja keras dan tekad yang kuat. Dalam kondisi pandemi yang sarat dengan ujian dan hambatan, mereka tetap memberikan yang terbaik, mendorong tubuh mereka ke titik batas. Kemenangan tim bulu tangkis ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, menjadi momen penting dalam sejarah bulu tangkis Indonesia. Tim ini tercatat dalam sejarah sebagai tim ganda putri pertama Indonesia yang berhasil memenangkan medali emas di ajang Olimpiade. Derai air mata tidak terbendung ketika melihat mereka berdiri di podium berkalung medali emas, dengan mata yang berkaca-kaca memberikan hormat ke bendera Merah Putih.

Betapa cemerlang pula para atlet perempuan bidang angkat besi Indonesia! Kegigihan mereka berlatih, keberanian mereka berlaga, dan cerita hidup mereka yang inspiratif. Windy Cantika Aisah menorehkan prestasi di cabang angkat besi dengan memenangkan medali perunggu di kelas 49 kg. Dalam wawancara ia mengungkapkan kendala dan kebimbangan yang ia alami sebelum berangkat ke Tokyo, Jepang. Ia menuturkan insiden saat latihan yang menyebabkan dirinya mengalami cedera cukup serius, tertindih besi. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, bahkan menjelang waktu bertanding. Saya membayangkan betapa dahsyat determinasi dirinya sehingga ia dapat menahan rasa sakit seperti itu. Saya menyaksikan berkali-kali rekaman Windy Cantika ketika mengangkat beban, segala ekspresi wajah hingga teknik tubuhnya.

Tubuh atlet perempuan dalam kisah-kisah ini memang menakjubkan, daya tahan mereka, dan kesabaran di detik-detik yang menentukan. Begitu mengagumkan juga Nurul Akmal, atlet cabang angkat besi Indonesia di kelas +87 kg. Ketekunan berlatih membawanya ke posisi lima besar cabang angkat besi untuk kelas berat dengan total angkatan 256 kg. Prestasi ini sangat membanggakan. Meski demikian, tidak mudah menjadi lifter ungkap Nurul Akmal. Dalam berbagai wawancara ia bercerita tentang tempaan yang ia hadapi untuk berada dalam posisinya sekarang. Belum lagi, banyaknya pandangan yang masih sempit tentang tubuh perempuan. Ia kerap merasa sedih dan kecewa jika orang-orang mencibir tubuhnya. Padahal, tubuhnya memang ia bentuk agar sanggup mengangkat beban yang ditargetkan. Nurul Akmal juga mengalami tekanan dari sebagian masyarakat karena pilihannya untuk melepaskan jilbab saat bertanding. Keputusan Nurul Akmal adalah keputusan individual, menyangkut pilihan terhadap tubuhnya, namun ia tetap mengalami perundungan.

Ketimpangan gender masih menjadi persoalan di masyarakat. Hal ini juga tampak di bidang olahraga. Masih bercokol budaya diskriminatif yang menyasar pada perempuan di olahraga. Ada anggapan usang bahwa olah fisik, ketangguhan tubuh, dan atletisisme adalah suatu yang bersifat maskulin. Olahraga masih kental dengan seksisme, dari soal objektifikasi, ketimpangan kesempatan, hingga problem ketidaksetaraan upah bagi atlet perempuan. Pada olahraga sepak bola sebagai contoh, hingga saat ini tim nasional sepak bola wanita Amerika Serikat masih memperjuangkan kesetaraan upah. Timnas sepak bola wanita AS memiliki beragam prestasi. Mereka berhasil mempertahankan gelar juara Piala Dunia pada 2019 dan kali ini meraih medali perunggu di Olimpiade Tokyo. Para atlet menyatakan kekecewaan saat mengetahui gugatan mereka untuk kesetaraan upah ditolak oleh pengadilan. Mereka tidak surut berjuang dan tengah mengajukan banding. Fakta ketimpangan semacam ini memang menyedihkan dan melanggengkan bias yang ada di olahraga. Walau demikian, karena advokasi dan kritik yang terus mengalir terkait kesetaraan upah, beberapa negara kini menerapkan sistem kesetaraan upah bagi tim nasional sepak bola seperti di Norwegia, Brasil, dan Inggris.

Pesan kesetaraan lantang disampaikan di Olimpiade tahun ini, salah satunya protes yang dilancarkan oleh tim senam Jerman. Para pesenam memilih untuk menggunakan busana senam unitard, baju yang menutupi hingga kaki mereka. Adapun pilihan ini merupakan keputusan bersama tim sebagai kampanye melawan seksualisasi tubuh perempuan di arena olahraga. Sarah Voss mengatakan dalam pengalamannya menggunakan leotard, sebagai pesenam ia merasa tidak nyaman dan selalu merasa cemas sehingga mengganggu konsentrasi gerakannya. Semestinya pakaian para atlet perempuan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh mereka. Demikian pula aspek kenyamanan yang penting dalam menunjang performa mereka.

Mengapa objektifikasi terhadap tubuh perempuan masih berlangsung? Tim bola tangan Norwegia, misalnya, menolak menggunakan bikini yang menurut mereka terlampau ketat. Tindakan mereka dianggap pembangkangan terhadap aturan pertandingan sehingga Federasi Bola Tangan menjatuhkan sanksi denda kepada masing-masing pemain sejumlah Rp 2,5 juta. Sementara itu, atlet panah Korea Selatan An San yang gemilang memenangkan tiga medali emas juga mengalami perundungan daring. Sekelompok perundung keberatan dengan rambut pendek An San yang menurut mereka terlampau feminis. Atlet perempuan kerap dibebankan standar ganda. Mereka selalu dipersoalkan tubuhnya.

Baca juga: Tangan yang Merawat

Ketika saya melihat tubuh atlet perempuan yang melenting penuh kekuatan, atau berlari begitu cepat, mengangkat beban sepenuh tenaga. Itulah perempuan menunjukkan dirinya sebagai subjek. Menerobos rintangan budaya, hambatan struktural dan prasangka. Sungguh, tubuh perempuan bertempat di arena pertandingan. (*)


 

*) SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia


Perempuan dan Kesetaraan dalam Olahraga