Vaksinasi Ulang Tak Jamin Tambah Imunitas

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Vaksinasi Ulang Tak Jamin Tambah Imunitas


JawaPos.com – Uji klinis fase kedua vaksin Nusantara dipertanyakan. Sebab, sejumlah anggota DPR yang diambil sampel darahnya sudah mendapatkan vaksin Covid-19, yakni Sinovac. Lantas, efektifkah penggunaan dua jenis vaksin tersebut?

Sejumlah anggota DPR diambil sampel darahnya pada Selasa (13/4) di RSPAD Gatot Subroto untuk menerima vaksin Nusantara.

Mereka tak langsung disuntik vaksin lantaran darah yang diambil harus diolah lagi dan digunakan untuk bahan vaksin. Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena, penyuntikan dilakukan Kamis pekan depan (22/4).

Melki, sapaan akrabnya, menyebutkan bahwa semua anggota DPR sebenarnya diharapkan menerima Vaksin Nusantara. Namun, untuk sementara hanya beberapa nama yang sudah dipastikan. ’’Pimpinan juga ada, setelah itu saya. Ada juga yang dari komisi VI, komisi III, komisi IV, berbagai komisi yang hadir,’’ jelas Melki kepada Jawa Pos kemarin (15/4).

Melki belum memastikan apakah anggota lain akan diwajibkan menerima vaksin tersebut. Pasalnya, beberapa anggota DPR sudah menjalani vaksinasi gelombang pertama pada Februari lalu. Memang ada beberapa yang belum dapat vaksin karena beberapa alasan. Salah satunya Melki sendiri yang saat itu baru sembuh dari Covid-19. Dia harus menunggu tiga bulan dulu untuk menerima vaksin.

Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menyatakan, mayoritas anggota komisi IX yang mengikuti program Vaksin Nusantara telah menjalani vaksinasi. Anggota Fraksi PAN itu mengaku telah menerima dua kali suntik vaksin. ’’Iya, sudah divaksin Sinovac,’’ ujarnya.

Dia mengatakan memiliki sejumlah pertimbangan terkait keputusannya ikut dalam program Vaksin Nusantara. Salah satu alasannya, level imunitas di tubuhnya belum maksimal setelah divaksin Sinovac. Kesimpulan itu dia dapat setelah menjalani tes di laboratorium klinik swasta. ’’Hasil uji lab yang dilakukan pasca vaksinasi (Sinovac), imunitas saya hanya 6,84 persen. Tentu itu belum maksimal,’’ imbuhnya. Dengan menjalani vaksinasi dengan Vaksin Nusantara, diharapkan imunitas yang didapat bisa lebih meningkat.

Menanggapi Vaksin Nusantara yang tidak memenuhi standar BPOM, Saleh menegaskan, pihaknya berkonsultasi dengan para peneliti vaksin tersebut sebelum memutuskan untuk terlibat. Baik itu peneliti asal Indonesia maupun peneliti asal AS. Dari penjelasan tersebut, dia percaya Vaksin Nusantara sangat baik dan efektif untuk meningkatkan imunitas.

Apalagi, berdasar hasil komunikasi dengan orang-orang yang pernah disuntik Vaksin Nusantara, tidak ada efek samping. ’’Efektivitasnya sangat baik. Setelah divaksin, mereka mengukur tingkat imunitas. Terbukti, tingkat imunitas mereka naik cukup tinggi,’’ tuturnya.

Saleh menilai Vaksin Nusantara sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia sesuai arahan Presiden Jokowi yang meminta mengutamakan produk dalam negeri. Jika diberi ruang dengan baik, dia berharap Vaksin Nusantara dapat menjadi momentum membangun kedaulatan dan kemandirian Indonesia dalam bidang kesehatan serta pengobatan. ’’Sekarang kan kita masih bergantung pada negara lain. Ketika diembargo, program vaksinasi kita langsung terganggu,’’ tuturnya.

Sementara itu, Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM Zullies Ikawati menyatakan, pengukuran kadar antibodi tak perlu dilakukan oleh awam. Sebab, menurut dia, pembacaan itu tak bisa dilakukan sembarangan. Biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit. ”Kemenkes juga menyarankan demikian,” ucapnya.

Selain itu, kalaupun kadar imunitas terukur, tak bisa dipastikan apakah ’’pasukan” antibodi yang terbentuk itulah yang akan melumpuhkan virus Covid-19. ”Artinya, nggak usah diukur-ukur lagi,” ujarnya.

Bagaimana jika vaksin diberikan dua kali? Zullies menjelaskan, sejauh ini belum ada kajian terkait vaksin Covid-19. Namun, pada vaksin lainnya, pemberian vaksin yang berbeda harus diberi jeda sebulan dari suntikan kedua. ”Misalnya, ada yang butuh vaksin TT untuk menikah, diberi jeda sebulan setelah vaksin kedua Covid-19,” katanya. Alasannya, untuk keamanan penerima vaksin. Dia pun menyarankan penggantian vaksin Covid-19 dengan jenis berbeda juga dilakukan sebulan setelah penyuntikan.

Zullies membantah menjalani vaksinasi ulang akan menambah imunitas. Dia menguraikan, penyuntikan vaksin yang pertama akan menimbulkan respons primer. Artinya, baru menghasilkan antibodi sedikit dan melatih sel-sel imunitas untuk mengingat jenis virus yang dimasukkan lewat vaksin.

Kemudian, suntikan kedua akan merespons antigen sama yang dibawa vaksin yang sama dari penyuntikan pertama. ”Makanya, kalau suntikan keduanya ini (menggunakan vaksin) beda, akan dianggap penyuntikan yang pertama oleh tubuh,” ucapnya.

Terkait pengujian ilmiah untuk produk obat dan vaksin, kata dia, tahapannya harus dilakukan dengan urut dan detail. Selain itu, harus mampu dipertanggungjawabkan keamanannya. Jika ada satu pengujian yang dilewati atau tidak diperbaiki, akan berisiko. ”Kita belum tahu keamanannya,” ungkapnya.

Biasanya obat atau vaksin diuji praklinis. Pengujian itu dilakukan untuk memastikan aspek keamanan. ”Menurut saya, yang penting ini keamanan. Soal efektivitas, seperti Sinovac, bisa didukung dengan protokol kesehatan,” tuturnya. Kalau uji praklinis tersebut lolos, baru boleh meningkat digunakan ke manusia.

Baca juga: Kemenkes Tegaskan Tak Biayai Vaksin Nusantara Pakai APBN

Pada temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), peneliti Vaksin Nusantara tidak bisa menunjukkan uji praklinis. BPOM meminta laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian. Sayang, hal itu tidak diberikan peneliti dengan alasan sel dendritik sudah lama digunakan untuk pengobatan manusia. Nyatanya, pengobatan yang dimaksud adalah pengobatan untuk kanker. Sementara itu, sel dendritik untuk vaksin Covid-19 menambahkan bahan baku lain.

Saksikan video menarik berikut ini:


Vaksinasi Ulang Tak Jamin Tambah Imunitas