Kurangi Efek Trauma, Alat Swab Antigen Harus Meminimalisasi Reflex

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kurangi Efek Trauma, Alat Swab Antigen Harus Meminimalisasi Reflex


JawaPos.com – Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan pandemi Covid-19. Salah satunya dengan 3T (tracing, testing dan treatment) yang sangat berguna untuk identifikasi awal Covid-19. Pemerintah telah menetapkan swab antigen sebagai salah satu metode testing yang dapat digunakan. Namun dalam prosesnya, seringkali pasien merasa tak nyaman.

Secara daring lewat Abbott Panbio Antigen Nasal baru-baru ini, masyarakat diimbau untuk ikut mendukung mengatasi pandemi ini. Salah satunya dengan bersedia melakukan tes.

Dokter yang sering menangani pengetesan swab PCR dan antigen dr. Indah Susanti mengatakan sangat penting untuk memastikan test antigen yang digunakan sudah sesuai memiliki izin edar dari Kemenkes dan telah direkomendasikan oleh WHO. Kemudian memiliki keakuratan yang ditetapkan pemerintah yaitu memiliki sensitivitas ≥ 80 persen dan spesifisitas ≥ 97 persen.

Baca Juga: Polri Sediakan Swab Antigen Gratis Pelaku Perjalanan yang Dikecualikan

Lebih jauh dr. Indah menceritakan bahwa ia sering menerima keluhan pasien yang merasa tidak nyaman baik ketika proses pengambilan sampel sekresi maupun setelahnya terutama pada anak-anak. Hal ini memicu rasa trauma.

“Karena proses yang kadang menimbulkan traumatis tersebut, terkadang nakes seperti dirinya harus berada dekat dengan pasien untuk waktu yang lebih lama dan hal tersebut tentu meningkatkan resiko penularan. Maka dari itu nakes harus selalu berhati-hati dan melengkapi dirinya dengan pelindung yang maksimal,” kata dr. Indah.

Lebih aman tentunya alat swab antigen nasal yang bisa meminimalkan reflex yang mengganggu seperti batuk dan bersin tanpa mengurangi keakuratan hasilnya. Sehingga mampu mengidentifikasi pasien yang tertular Covid-19 dalam waktu 15 menit sehingga cocok digunakan untuk pengujian dalam skala besar.

Seberapa efektifnya 3T untuk menyetop penyebaran Covid-19?

“Berdasarkan studi epidemiologi, Indonesia menghadapi potensi ledakan kasus Covid-19 pasca Idul Fitri dan hal tersebut sudah pernah terjadi di Indonesia,” tutur Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health, Griffith University Australia dr. Dicky Budiman.

Ia menekankan pentingnya memperkuat survailans epidemiologi di masyarakat. Seperti pengumpulan data deteksi kasus, sistem pelaporan, pengolahan, analisis hingga interpretasi data yang dapat dijadikan acuan untuk pengambilan keputusan.

Selain itu aspek-aspek umum di layanan kesehatan juga harus diperkuat misal adanya program jangkauan ke rumah-rumah, penguatan sistem kesehatan (SDM, alat, obat) menyiapkan mekanisme rujukan serta penguatan survailans genomic (di level pusat). Memberlakukan pembatasan pergerakan manusia (seperti PSBB) sebelum masa liburan tiba juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko sakit. Dan meski telah mendapatkan vaksinasi, setiap individu harus memiliki prinsip jaga diri, menjaga konsistensi dalam penerapan protokol kesehatan, karena cukup hanya 1 orang terinfeksi untuk perburuk situasi.

“Kesimpulannya melakukan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan membatasi mobilisasi/interaksi) dan 3T masih merupakan cara yang paling efektif untuk menanggulangi pandemi selain menguatkan survailans epidemiologi,” katanya.


Kurangi Efek Trauma, Alat Swab Antigen Harus Meminimalisasi Reflex