Polisi Tak Temukan Unsur Pidana Kasus Dugaan Fetish Mukena di Malang

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Polisi Tak Temukan Unsur Pidana Kasus Dugaan Fetish Mukena di Malang


JawaPos.com–Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota menyatakan tidak menemukan unsur pidana pada dugaan kasus fetish mukena di Kota Malang, Jawa Timur, dengan pihak terlapor berinisial DA.

Kasatreskrim Polresta Malang Kota Kompol Tinton Yudha Riambodo seperti dilansir dari Antara di Kota Malang mengatakan, kesimpulan tersebut usai mendapatkan keterangan kesimpulan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur serta ahli bahasa. ”Dari hasil koordinasi dengan Diskominfo Jawa Timur, kasus tersebut tidak termasuk dalam UU ITE dan asusila,” kata Tinton.

Sementara itu, hasil koordinasi dengan ahli bahasa, lanjut Tinton, juga menyatakan bahwa komentar dalam postingan di akun Twitter juga belum masuk dalam kategori asusila, pornografi, atau penghinaan. Berdasar penjelasan ahli, kalimat dalam tulisan tersebut putus atau tidak ada sambungan kata-kata lain.

”Selain itu, tulisan tersebut bukan merupakan komentar dari pihak terlapor berinisial DA, melainkan dari orang lain,” tutur Tinton Yudha Riambodo.

Mengenai kasus tersebut, kata Tinton, ada tiga laporan aduan yang diterima Polresta Malang Kota. Ada tiga orang pelapor, yakni JH, AZK, dan AM, yang merupakan mahasiswa di wilayah Kota Malang dan berprofesi sebagai model.

Terlapor DA meminta para pelapor tersebut untuk mempromosikan mukena yang dijual pada akun onlineshop miliknya. Pelapor sempat melakukan sesi foto untuk produk mukena. Namun, foto-foto tersebut tidak diunggah di akun onlineshop yang dijanjikan.

”Hasil foto tidak dicantumkan pada onlineshop milik teradu dan dibagikan pada pengikutnya di Twitter,” terang Tinton Yudha Riambodo.

Pihak kepolisian telah melakukan pendalaman dan memeriksa sejumlah saksi terkait dengan aduan tersebut. Meskipun hingga saat ini belum ditemukan adanya unsur pidana, pihak kepolisian masih melanjutkan penyelidikan.

Dalam kesempatan itu, seorang psikolog klinis Sayekti Pribadiningtyas menyatakan, telah melakukan pemeriksaan terhadap terlapor DA. Berdasar pemeriksaan tersebut, disimpulkan bahwa DA mengidap gangguan fetisisme mukena.

”Jadi, kategorinya sudah masuk dalam gangguan, fetisisme mukena, yang diidapnya sejak kelas 4 SD. Kategori gangguan itu sekurang-kurangnya dilakukan 6 bulan secara intens terhadap satu objek,” kata Sayekti.

Dia menambahkan, DA menggunakan objek mukena dalam fetish-nya. Berdasar hasil pemeriksaan, DA juga tidak tertarik pada bentuk benda lain sehingga melakukan pemenuhan hasrat seksualnya dengan mukena setiap hari.

”DA tidak mampu menahan dan mengendalikan fetisisme mukena tersebut,” ujar Sayekti.

Terkait dengan kasus yang saat ini dihadapi DA, Sayekti menjelaskan, ketertarikan terlapor ada pada objek mukena bukan pada model perempuan yang menggunakan mukena tersebut. Dengan kondisi tersebut, DA perlu menjalani terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal itu karena fetisisme tidak mudah dipulihkan dalam waktu yang singkat.

”Secara profesional, saya sebagai psikolog klinis mengatakan bahwa DA memerlukan terapi dan intervensi psikologis secara mendalam dalam jangka waktu yang cukup lama,” ujar Sayekti.

Sementara itu, terlapor DA mengatakan siap bertanggung jawab apabila ada unsur pidana dari perbuatannya tersebut. Dia juga menyatakan akan menjalani perawatan dan penyembuhan didampingi para psikolog.


Polisi Tak Temukan Unsur Pidana Kasus Dugaan Fetish Mukena di Malang