Riuhnya Wacana Calon Ketua NU Gresik

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Riuhnya Wacana Calon Ketua NU Gresik


TIDAK hanya muktamar. Perbincangan tentang pemilihan ketua tanfidziyah PCNU Gresik pun tengah ramai diperbincangkan. Beberapa ide muncul untuk mendapatkan ketua tanfidziyah yang berkualitas. Ada yang mendasarkan pada kemampuan dalam menguasai ilmu agama khas NU, seperti bisa membaca kitab kuning serta paham tentang amaliah dan tradisi NU.

Ada juga yang menghendaki agar ketua PCNU mendatang harus mempertimbangkan kewilayahan. Misalnya, kalau rais syuriah berasal dari wilayah Gresik utara, maka ketua tanfidziyah dari wilayah selatan. Pendapat lain, calon ketua PCNU idealnya memiliki lembaga pendidikan pondok pesantren. Adalagi yang berkeinginan calon ketua harus memiliki pengalaman aktif dalam organisasi di bawah naungan atau yang mempunyai hubungan sejarah dengan NU dan tidak terkontaminasi dengan faham atau ideologi yang berseberangan dengan NU.

Uniknya, riuh wacana pergantian kepemimpinan tersebut pada tataran ketua tanfidziyah. Padahal, dalam sejarah biasanya yang cukup sakral dalam  pemilihan adalah untuk jabatan rais. Begitu kharismanya jabatan rais sehingga waktu itu masyarakat nusantara melihat NU tidak lain adalah figur Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Karenanya, saat itu tidak banyak khalayak yang mengetahui siapa sosok H. Hasan Gipo, ketua tanfidziyah PBNU pertama asal Surabaya ini.

Begitu takdhimnya ulama di Nusantara, khususnya dari kalangan NU, sehingga jabatan rais am atau rais akbar selalu dipangku Mbah Hasyim Asy’ari hingga akhir hayatnya. Setelah itu, dilanjutkan KH. Wahab Chasbullah. Ketika itu pula tidak ada perbincangan untuk rais am selama Mbah Wahab masih sehat dan masih kuat untuk memangku jabatan tersebut. Hal itu sama juga pada KH. Bisri Syamsuri yang memangku jabatan rais am hingga akhir hayatnya.

Begitu kharismanya para muassis jamiyah NU sehingga sangat tabu dan tidak pantas untuk memperbincangkan jabatan rais am pada waktu itu. Pasca ketiga ulama tersebut, setiap pemilihan rais am berikutnya terasa mengalami kesulitan. Sebab, kiai yang dianggap mampu dan dipilih muktamirin untuk memangku jabatan ini selalu tidak berkenan dengan alasan tidak pantas dan sebagainya.

Namun, cukup beralasan jika riuh pembahasan pemilihan PCNU Gresik berada di seputar ketua tanfidziyah. Bukan saja umumnya ketua tanfidziyah berusia relatif muda sehingga lebih dinamis dan cukup pantas bila harus melakukan akrobat politik, walaupun NU bukan organisasi politik. Masih banyak masyarakat yang memandang kurang elok seorang kiai yang memangku jabatan rais syuriah mondar-mandir ke kantor penguasa. Yang pantas melakukan itu adalah jajaran pelaksana atau tanfidziyah. Sebaliknya, rais syuriah idealnya atau lebih pas disowani oleh penguasa. Selain itu, tidak pantas rais syuriah berbicara dengan penguasa dan politisi secara sharih dan vulgar membahas tentang jabatan dan pendapatan, meski seharusnya itu memang harus dibahas tuntas lantaran eksistensi NU di Gresik cukup nyata dan harus menjadi pertimbangan utama.

Terlepas itu, intinya kehadiran ketua PCNU seyogyanya bisa melaksanakan tugas-tugas yang diberikan rais syuriah. Khususnya yang berhubungan dengan urusan administrasi, tata organisasi serta sistem koordinasi internal dan eksternal dalam membangun gerak organisasi NU yang sangat besar. Hal ini penting karena NU tergolong organisasi yang kreatif dalam mewujudkan ide, tapi lemah dalam menjaga, mengeksekusi, dan mengamankan ide tersebut. Sebagai contoh, NU Gresik adalah organisasi keagamaan pertama yang berhasil mendirikan balai kesehatan untuk masyarakat umum. Awalnya berada di Jalan Pahlawan sisi timur dekat Alun-alun Gresik. Konon, tempat itu dipinjami oleh tokoh aghniya NU Gresik.

Dalam perkembangannya balai kesehatan itu berubah menjadi Balai Kesehatan Ibu dan Anak, kemudian secara de facto PCNU cukup dibanggakan masyarakat karena telah memiliki rumah sakit. Maklum, kala itu belum ada pihak swasta di Gresik yang mampu membangun rumah sakit semewah dan seindah milik NU. Namun, dalam perjalanannya kebanggaan itu terasa agak pupus. Sekarang ini untuk mencari rumah sakit yang benar-benar secara de facto dan de jure milik PCNU Gresik sulit ditemukan. Tentunya status kepemilikan itu sangat berbeda dengan di organisasi keagamaan yang lain.

Kesulitan juga muncul ketika mencari perguruan tinggi milik PCNU Gresik. Padahal, ketika masyarakat Gresik masih sangat terbatas untuk menempuh pendidikan level sarjana, untuk berkuliah paling dekat hanya ke Surabaya, maka waktu itu tokoh-tokoh NU Gresik berhasil mendirikan Universitas Islam Gresik (UNIG). Lalu, kalau tidak salah berubah menjadi Universitas Sunan Giri di Gresik, perguruan tinggi ini cukup populer dan jaya pada zamannya. Bahkan, mampu mengalahkan perguruan tinggi swasta lain di Kota Gresik. Dalam perjalanannya kampus yang telah melahirkan banyak tokoh yang telah dikenal  masyarakat itu, akhirnya harus mengakui keunggulan perguruan tinggi baru yang didirikan organisasi keagamaan yang lain. Bahkan, universitas itu mampu menyedot animo generasi muda NU. Nasib perguruan tinggi NU harus hilang tiada bekas.

Penyelamatan aset PCNU Gresik harus ditata sesuai administrasi yang baik dan tepat. Sebagaimana diketahui, tidak semua lembaga pendidikan yang menyematkan nama dan panji-panji NU, otomatis telah selesai urusan kepemilikannya untuk NU. Bahkan dalam sejarah perkembangan NU di Gresik, tidak sedikit aset berupa lembaga pendidikan NU harus berpindah tangan dan berubah kepemilikan ketika NU harus keluar dari Masyumi. Terlepas karena keikhlasan NU dalam perjuangan atau karena pertimbangan lain, jelas ini sangat merugikan NU.

Belum lagi urusan aset yang tidak jelas, yang selalu terjadi pada setiap pergantian pengurusan. Di era keterbukaan ini, seharusnya tidak terjadi lagi. Seharusnya, sama-sama dipahami bahwa pergantian itu pasti akan selalu terjadi. Tidak ada kepengurusan yang bersifat abadi. Karena itu, yang perlu dikembangkan adalah cara berpikir yang tidak picik. Semua harus berwawasan luas bahwa yang abadi adalah NU, sedangkan kepengurusannya bisa diganti kapan saja dan diduduki siapa saja, asalkan sesuai dengan alur proses, regulasi dan pantas serta mumpuni.

Sadar dan paham tentang fenomena NU juga harus tertancap kuat dalam pemikiran pengurus PCNU mendatang. Yang ditonjolkan bukan hanya rasa bangga tiada tara dengan berjalan pongah membusungkan dada karena memangku jabatan ketua organisasi besar warisan para ulama. Tapi, sebaiknya menyadari dengan sepenuh hati, dengan jabatan itu maka harus berjuang keras membantu menyelamatkan madrasah-madrasah yang telah didirikan para kiai desa dalam kondisi kembang kempis. Jangankan menjadikan sebagai sarana pendidikan yang mewah dan indah, untuk memberi honor gurunya setiap bulannya saja kadang-kadang tidak bisa. Padahal, madrasah-madrasah ini bukan saja sarana pencerahan yang sangat efektif. Lebih dari itu juga sebagai lembaga persiapan kader militan dalam mengembangkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah an nahdliyah.

Telah kasatmata, begitu luar biasa pesatnya pembangunan sarana pendidikan yang dimiliki organisasi keagamaan selain NU di Gresik. Dalam membangun lembaga itu pastinya mereka tidak sendiri, melainkan benar-benar melibatkan kekuatan penuh dan berbagai unsur. Bahkan tidak jarang para pengurus dari level paling tinggi sampai daerah terlibat dalam membangun jaringan dan kekuasaan. Karena itu, tidak heran pula bila mereka membangun tidak memerlukan waktu lama. Hasilnya, membikin organisasi lain terkesima.

Belum lagi tentang dana-dana halal yang bisa diterima dari masyarakat maupun pemerintah. Terkadang, NU gagap untuk meraih itu semua. Sebagai organisasi besar dan tua yang memiliki kontribusi besar dalam menata umat serta menjaga negara, NU sering dikalahkan oleh lembaga-lembaga yang lebih kecil. Lembaga yang cenderung diurus perorangan, akan tetapi menangguk jumlah yang cukup besar. Bahkan, kini lembaga-lembaga seperti itu lebih masyhur namanya dibanding mabarrot NU atau Lazisnu bagi masyarakat perkotaan. Tidak heran, ketika mau menyalurkan kelebihan rezeki untuk amal sedekah bagi fakir, miskin, dhuafa, dan yatim, yang diingat dan diketahui adalah lembaga-lembaga kecil ini.

Itulah uniknya, peran NU yang begitu penting sebagai jangkar negara dan sangat berisiko, tapi urusan-urusan kecil tapi bernilai agama serta memberikan keuntungan material besar diraup oleh mereka yang kecil dan cenderung perorangan itu. Mulai penyediaan kambing aqiqah sampai paket sate gulnyae, dana yatim dan dhuafa, zakat mal yang proaktif diambil di rumah. Dan, demikian itu cukup dikendalikan dari bangunan sebesar rumah dengan beberapa tenaga anak muda saja.

Seiring kemajuan Gresik sebagai daerah industri yang terus bergerak maju, terutama pembangunan Pelabuhan Internasional dan lain sebagainya, maka ke depan potensi kehadiran para pekerja dari luar daerah cukup besar jumlahnya. Konsekuensi, kebutuhan perumahan juga cukup besar. Di tengah perkembangan perumahan itu pasti diperlukan tempat ibadah (masjid). Pendirian masjid di Gresik terus naik jumlahnya. Kesadaran yang semakin tinggi akan pendirian masjid di perkantoran dan pabrik juga bertumbuh. Karena itu, kebutuhan akan khatib dan pemangku pengajian di masjid-masjid tersebut juga meningkat.

Nah, fenomena ini harus benar-benar menjadi perhatian PCNU Gresik mendatang. Jika tidak, pasti akan diisi oleh organisasi baru yang kehadirannya bisa jadi berseberangan dengan pemahaman keagamaan cara NU. Apalagi gerakan baru itu umumnya sangat gesit dan proaktif, menyasar lini-lini yang sebenarnya telah digarap lama oleh aktifis tradisional NU.

Kendati madrasah maupun sekolah di bawah naungan NU sangat banyak, namun pengurus NU Gresik nanti harus benar-benar hadir, bisa berkomunikasi dengan pemerintah dalam menjaga generasi akan datang agar tidak terpapar ideologi intoleran, radikal, yang memecah belah bangsa. Hal itu terjadi salah satunya karena ketidakpahaman atau sikap cuek para kepala sekolah negeri. Mungkin mereka telah merasa aman, yang penting setiap bulan gajian, sehingga apatis terhadap perkembangan ideologi trans.

Dampaknya, tidak sedikit sekolah negeri menjadi tempat persemaian aliran atau gerakan yang tidak jarang kontra terhadap negara. Modus mereka biasanya mengemas melalui unit kegiatan kerohanian atau kajian-kajian lainnya, dan yakinlah demikian itu akan memperberat beban NU sebagai jangkar negara.  (*)


*) Dr. MUCHAMMAD THOHA, praktisi NU dan sejarawan Gresik


Riuhnya Wacana Calon Ketua NU Gresik