Paus Pergi, Paman Datang

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Paus Pergi, Paman Datang


Dalam ranah kesusastraan kita, peran pembaptis mesti selalu hadir dan dihadirkan. Kehadirannya dianggap perlu untuk menahbiskan sebuah karya dengan penilaian baik atau buruk yang, tentu saja, sesuai ukuran pembaptis. Maka lahirlah istilah ”paus” sastra.

PASCA kemerdekaan, Mh. Rustandi Kartakusuma (1957) memperkenalkan istilah pijpers yang berarti peniup seruling dalam esainya. Rustandi menautkan istilah ini dengan kritikus sastra asal Negeri Belanda. Menurutnya, tugas pijpers adalah memberikan penilaian tentang karya sastra yang ditulis pengarang Indonesia. Legitimasi para pijpers ini begitu kuat. Pendapat-pendapat mereka dijadikan pegangan sehingga, sebagaimana dikatakan Rustandi: ”Jika seruling lambat lagunya, lambat pula kita berdansa, bila seruling cepat, cepat pula kita. Dengan kata lain, kita hanya pembuntut.”

Sayangnya, para pijpers ini tidak bisa terus-terusan ”mengasuh” sastrawan Indonesia. Maka dilahirkanlah ”paus” sastra Indonesia: H.B. Jassin. Dengan tugas pokok serupa para kritikus Belanda, yaitu membaptis sastrawan Indonesia, baik lewat majalah Kisah atau Horison maupun lewat buku semacam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Sang paus pula yang membaptis para sastrawan yang hendak masuk ke dalam daftar Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66. Di bawah tekanan Orde Baru, dia pula yang membuang sastrawan-sastrawan Lekra dari Gema Tanah Air. Dengan kata lain, sang paus inilah yang menentukan sastrawan mana yang harus diangkat dan mana yang harus disingkirkan dari peta sastra Indonesia.

Berbeda dengan para pijpers yang menyerahkan tongkat suci pembaptis kepada H.B. Jassin setelah meninggalkan tanah jajahan mereka tercinta, sang paus sastra tidak pernah menunjuk penggantinya. Otoritasnya tidak diwariskan kepada siapa pun. Alhasil, tongkat suci itu seolah menguap usai sang paus sastra tunggal tiada.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah ramailah muncul para Mas, Bang, dan Prof dengan huruf kapital lambang penokohan yang suci dalam jagat kesusastraan kita. Kesucian yang mereka dapat dari tongkat pembaptis buatan masing-masing yang diperoleh entah dari kesenioritasan, posisi dalam kelembagaan, ataupun gelar akademis. Sebagaimana yang terjadi kepada para pijpers dan sang paus, mereka juga muncul dengan pengekor dan jagoan masing-masing, bahkan media.

Paman dan Keponakan

Ada sebuah istilah seksis yang hadir pasca Soeharto lengser. Istilah tersebut adalah sastrawangi. Istilah ini, sudah pasti, tidak hadir begitu saja. Ia digunakan untuk menyebut para pengarang perempuan yang muncul dengan karya-karya mereka yang dianggap menjebol tabu.

Tema-tema sastrawangi yang kontroversial, yaitu ”penggambaran seksualitas dan aktivitas sosial”, dipandang Faruk H.T. (2004) sebagai sesuatu yang ”membuat entakan keras pada sejarah sastra Indonesia.” Sementara itu, dalam kebimbangannya, Sapardi Djoko Damono (2004) berani berandai-andai seputar kehadiran sastrawangi dengan berujar bahwa ”di masa depan mungkin perkembangan sastra kita akan ditentukan oleh perempuan.” Itulah era di mana para pembaptis yang umumnya laki-laki tercatat mulai mengonstruksi kemunculan para pengarang perempuan secara gamblang.

Ada pula upaya untuk membuat sastrawan Angkatan 2000. Upaya ini seolah hendak meniru semangat gerbong kereta api kelas ekonomi dalam hal memaksimalkan ruang untuk semua jenis penumpang. Tua-muda, senior-junior, semuanya dijejalkan ke dalam gerbong sastra Angkatan 2000 yang sangat panjang itu. Kendati demikian, gaung Angkatan 2000 tidak sekuat gaung angkatan-angkatan sebelumnya.

Dalam situasi seperti di atas, jagat sastra Indonesia kedatangan generasi baru. Mereka yang mulai menelurkan karya setelah tahun 2000 membutuhkan pembaptis baru. Para pembaptis lama dinilai kurang representatif untuk mengesahkan karya-karya mereka yang konon menawarkan kebaruan. Mereka menyebutnya eksperimental. Ironisnya, kendati mengusung napas pembaruan, generasi ini masih belum bisa lepas dari apa yang diwariskan para pijpers kepada jagat sastra Indonesia. Kebutuhan generasi baru penulis sastra kita atas kehadiran sosok pembaptis membuat mereka mulai mencari-cari hingga bertemulah dengan paman-paman yang baik hati.

Sebagaimana masyarakat Vietnam menyebut Ho Chi Minh dengan sebutan ”Paman Ho”, banyak yang menilai sebutan ”paman” lebih egaliter dibandingkan sebutan ”paus”. Para paman yang sudah menduduki posisi strategis dalam kesusastraan, entah sebagai pengurus lembaga kesenian atau keseringan menjadi juri sayembara dan penghargaan sastra, dianggap mempunyai legitimasi yang kuat untuk membaptis kelahiran sastrawan baru. Maka atas dukungan para keponakan baru, dari tangan paman-paman ini lahirlah banyak bintang baru dalam kesusastraan negeri kita.

Gampang untuk melihat betapa cepat lesatan para keponakan dalam jagat sastra Indonesia. Panggung-panggung acara sastra tiada pernah sepi dari kehadiran nama-nama mereka. Begitu pula media-media sastra baru. Mereka menduduki posisi penting di sana, entah sebagai narasumber ajang sastra internasional atau redaksi jurnal kritik sastra. Tidak sulit pula bagi kita menampaki para paman yang berdiri dekat di belakang mereka. Pun, kita bisa menyaksikan betapa besar semangat berbakti yang ditunjukkan para keponakan kepada paman mereka yang sedang tertimpa musibah, misalnya terkena tuduhan plagiasi. Mereka membelanya beramai-ramai.

Akibat kadung terjadi, hubungan timbal balik semacam ini memang mesti selalu dijaga baik-baik. Alam sudah lama membuktikan bahwa selalu ada konsekuensi berat di balik hubungan simbiosis mutualisme yang retak. Ada organisme yang bakal lenyap dari muka bumi. Untungnya, jagat sastra Indonesia masih menyediakan banyak ruang bagi sebuah ekosistem sastra yang lebih mandiri. Ekosistem yang tidak mengenal para paman dan kursi-kursi kekuasaannya, sebab dalam jagat kesusastraan sesungguhnya kita semua adalah sama. Kitalah sang pengarang. (*)


Paus Pergi, Paman Datang