June 23, 2020 at 05:55AM - Akankah Covid-19 Ciptakan Gelombang Krisis di Industri Perbankan? -

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Akankah Covid-19 Ciptakan Gelombang Krisis di Industri Perbankan?

JawaPos.com – Berbagai kebijakan pembatasan sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 berdampak terhadap dunia usaha. Rantai pasok di berbagai sektor bisnis juga terganggu, utamanya yang mengandalkan impor.

Dampak lanjutannya bisa lebih serius, merembet ke sektor perbankan. Beberapa pengusaha mulai kesulitan memenuhi kewajiban ke bank lantaran bisnisnya sepi.

Tak jarang, mereka terpaksa harus mengurangi karyawan demi menekan beban pengeluaran. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengakui, sudah terlihat ada sedikit kenaikan NPL menjadi 2,89 persen dibandingkan 2,77 pada bulan lalu.

“Namun dari segi recovery rate (kemampuan pemulihan) masih sangat aman, yaitu mencapai 212,05 persen,” ujarnya dalam acara diskusi virtual, Senin (22/6).

Melihat angka recovery rate yang masih sehat, Heru mengajak semua pihak untuk tidak panik dalam menghadapi pandemi Covid-19. Meski begitu, kewaspadaan tetap harus dijaga.

OJK sendiri telah menyiapkan berbagai langkah yang bisa ditempuh sesuai dengan perkembangan pasar. Paket relaksasi tahap pertama telah dijalankan lewat POJK Nomor 11.

“Bila memang diperlukan, paket-paket (relaksasi) lanjutan juga sudah siap (dirilis),” tuturnya.

OJK memiliki program restrukturisasi kredit yang bisa dijalankan oleh perbankan terhadap nasabah terdampak Covid-19. Beberapa opsi tersebut di antaranya pengembalian posisi bunga ke pokok, penyesuaian jangka waktu kredit, penambahan fasilitas hingga konversi nilai kredit ke penyertaan modal sementara.

“Semua opsi itu kami serahkan sepenuhnya ke masing-masing banknya. Ke masing-masing lembaga pembiayaannya, agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik nasabah kreditnya masing-masing,” ucapnya.

Sementara, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja menyatakan, persoalan likuiditas menjadi hal krusial yang harus benar-benar dijaga. “Kita bisa banyak belajar dari krisis yang terjadi saat 1998 dulu, di mana perekonomian babak-belur gara-gara likuiditas yang tidak tersedia di pasar,” terangnya.

Jahka ingat betul, setahun sebelum krisis, banyak pihak sangat optimistis Indonesia tidak akan terkena krisis karena nilai tukar saat itu sangat kuat. Nilai tukar mata uang Garuda di kisaran 2.000an.

“Tapi ketika melonjak drastis hingga 15.000an, otomatis likuiditas kita terkuras,” ujar Jahja.

Jahja bercerita, periode awal krisis masuk Indonesia diawali dengan ditutupnya 16 bank-bank kecil. Saat itu belum ada sistem penjaminan yang saat ini diperankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Akibatnya, sontak penutupan bank sebanyak itu membuat masyarakat panik. Penarikan uang secara besar-besaran terjadi, sehingga makin membuat likuiditas yang tersedia menjadi sangat terbatas.

“Karena itu, dengan pengalaman yang ada, kita harus satukan semangat untuk menjaga likuiditas. Soal profitabilitas nanti dulu saja. Kita selamatkan dulu angsanya, untuk nantinya ketika sudah aman, telurnya bisa kita bagi dan nikmati bersama-sama,” pungkasnya.

Akankah Covid-19 Ciptakan Gelombang Krisis di Industri Perbankan?