Kampung Nelayan Tambak Sarioso, Kampung tanpa Tempat Sampah

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kampung Nelayan Tambak Sarioso, Kampung tanpa Tempat Sampah


Di wilayah perkotaan, iuran bulanan untuk membayar biaya pengangkutan sampah merupakan hal yang lazim. Namun, hal itu tidak berlaku di Kampung Nelayan, Kelurahan Tambak Sarioso. Tidak ada tempat sampah di depan rumah penduduk. Semua limbah rumah tangga didaur ulang menjadi barang yang lebih produktif.

ARIF ADI WIJAYA, Surabaya

INGAR bingar kendaraan kontainer maupun truk tronton tidak begitu terdengar dari Balai RT 2, RW 5, Kampung Nelayan, Kelurahan Tambak Sarioso, Minggu (17/10). Padahal, jarak dengan Jalan Raya Osowilangun yang menjadi jalur utama distribusi barang ke pelabuhan hanya 20 meter. Suasana kampung yang berada di sepanjang jalan provinsi tersebut begitu tenang.

Angin laut yang berembus dari utara menambah sejuk suasana. Suhu udara yang mencapai 35 derajat Celsius kemarin siang pun tidak terasa. Ditambah lagi, suasana kampung begitu asri. Selain diwarnai tanaman hias dan pohon kecil, jalan kampung selebar 2 meter itu begitu bersih. Jangankan sampah. Tempat sampah saja tidak terlihat di depan rumah warga.

Kampung yang pernah masuk 30 besar dalam lomba Surabaya Smart City (SSC) itu memang punya keunggulan. Khususnya, dalam hal mengelola dan mengolah sampah.

Hingga hari ini, tidak pernah ada pengiriman sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) yang berasal dari kampung tersebut. Istilahnya, nol sampah.

Chusnul alias Temin merupakan sosok di balik keberhasilan kampung tersebut dalam mengelola dan mengolah sampah. Termasuk mengubah kebiasaan masyarakat setempat. Yang awalnya suka buang sampah ke sungai sekarang berubah. Sebagian sampah didaur ulang menjadi pupuk kompos dan cair. Sebagian lagi diolah menjadi kerajinan yang bernilai rupiah.

Pria 35 tahun itu mengakui, membuat program memang bukan hal yang sulit. Yang sulit adalah mengubah kebiasaan warga. ”Karena itu, yang saya pikirkan awal dulu adalah membenahi SDM (sumber daya manusia, Red) dulu. Baru menjalankan program,” ujarnya saat ditemui di Balai RT 2, RW 5, Kelurahan Tambak Sarioso, kemarin.

Perjuangan Chusnul dimulai medio 2019. Dia tidak berjalan sendirian. Bapak satu anak itu mengajak sembilan pemuda kampung bergerak bersama-sama. Mereka rela turun ke 60 rumah yang berada di dalam gang sepanjang 2 kilometer di kampung tersebut. Satu per satu warga diberi pemahaman terkait dampak jangka panjang jika lingkungan tidak dijaga.

Setelah turun ke bawah, Chusnul mencoba menggelar pertemuan. Warga satu kampung diundang. Dia menggandeng LSM Nol Sampah. Masyarakat diberi pemahaman terkait pentingnya memilah dan memilih sampah. Juga, mengolah dan mengelola sampah.

Memang, pemahaman tersebut tidak begitu saja diterima dengan baik. Tidak lebih dari lima orang dari 60 keluarga yang akhirnya mau mengelola sampah. Yang 55 orang atau keluarga yang lain menolak secara tidak langsung maupun secara langsung. ”Ada yang bilang, gawe opo sih ngene-ngene iki. Ngerepoti ae,” ucap Chusnul, menirukan warga yang menolak.

Chusnul tidak memaksa. Tapi, tidak pula menyerah. Pria yang juga aktif di organisasi masyarakat (ormas) GP Ansor itu sudah menyiapkan program yang menarik. Kira-kira yang menarik bagi warga adalah yang hasilnya realistis. ”Yang hasilnya realistis adalah yang menghasilkan uang,” katanya.

Akhirnya, dia membuat bank sampah. Warga yang mau menabung sampah di bank sampah akan diberi buku tabungan. Hasil timbangan sampah yang disetorkan dicatat. Pencatatan dimulai setelah Lebaran setiap tahun. Nah, uang dari hasil penukaran sampah tersebut hanya bisa dicairkan setelah satu tahun. Pencairan dilakukan tepat menjelang Lebaran. ”Pas wayahe wong butuh duit,” kelakarnya.

Dari situ, warga yang awalnya menolak secara halus maupun terang-terangan akhirnya tertarik. Mereka merasa perlu ikut program bank sampah karena pencairannya pas waktunya orang butuh uang. ”Semua itu tergantung momentum. Kalau momentumnya pas, wes talah, pasti dadi,” paparnya sambil bercanda.

Konsep yang dia buat benar-benar berjalan. Satu per satu warga mau setor sampah ke bank sampah. Hingga akhirnya, satu kampung menjadi ”nasabah” bank sampah. Setelah program tersebut berjalan, Chusnul mulai menggagas program penghijauan kampung.

Nah, sampah basah atau organik dari rumah penduduk dikumpulkan di dalam komposter. Pupuk itulah yang digunakan untuk melakukan penghijauan kampung. ”Jadi, sampah plastik atau anorganik kita kumpulkan di bank sampah. Yang basah atau organik kita jadikan pupuk kompos maupun pupuk cair,” terangnya.

Berkat perjuangan Chusnul bersama sembilan pemuda kampung tersebut, PT Terminal Teluk Lamong akhirnya melirik. Kampung Nelayan diberi anggaran melalui program corporate social responsibility (CSR) untuk melakukan budi daya. Mulai ikan lele, nila, sampai tanaman hidroponik.

Saat ini anak-anak muda di kampung tersebut sedang gotong royong membangun perpustakaan. Balai RT yang tidak terpakai bakal disulap menjadi taman baca. 


Kampung Nelayan Tambak Sarioso, Kampung tanpa Tempat Sampah