Santri, Seni, dan Pesantren

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Santri, Seni, dan Pesantren


Beberapa waktu lalu sempat viral soal kejadian sejumlah santri terlihat menutup telinga saat mendengar musik di lokasi vaksinasi Covid-19. Perdebatan muncul di tengah-tengah masyarakat, bahkan tidak sedikit yang mengecapnya radikal.

HUBUNGAN pesantren dan kesenian sering kali bersifat paradoks dan ambivalen. Di satu pihak, kesenian didukung dan dijalankan sebagai ekspresi keseharian yang absah. Terutama setelah seni dipahami bukan semata dari makna sisi estetiknya, tetapi sebagai bagian dari ekspresi keagamaan. Di pihak lain, seni dilawan dan dihukum. Terutama jika seni dianggap sebagai suatu kegiatan dan ekspresi yang menandingi dan bahkan melawan nilai agama yang diyakini.

Lebih jauh, bagaimana suatu seni distandardisasi berdasar nilai keagamaan? Bagaimana suatu seni ditolak dan diterima di kalangan komunitas keagamaan, terutama kiai, para santri, dan kehidupan di dalam pesantren? Hairus Salim dalam penelitiannya mencoba mencari hubungan tersebut melalui pembacaan terhadap suatu bagian dari otobiografi Kiai Saifuddin Zuhri (menteri agama di era demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno [1962–1966] dan menteri agama pada Kabinet Ampera di bawah Presiden Soeharto [1967]) lewat tulisan berjudul ”Pertemuan Wayang dan Pesantren: Pandangan Seorang Santri terhadap Kesenian” dalam buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974). Buku itu diterbitkan lagi oleh penerbit LKiS di tahun 2012.

Jejak

Di bagian belakang sampul buku, terdapat komentar sejarawan dan budayawan Kuntowijoyo yang menyebut bahwa buku itu sangat berharga untuk mengetahui informasi tentang bagaimana santri akrab dengan wayang (dan gamelan). Komentar itu cukup menarik karena ada penegasian yang jelas tentang keakraban santri dengan kesenian. Pernyataan itu juga dapat dibaca dalam sudut yang berbeda. Pertama, adanya keakraban antara santri dan seni tradisional Jawa dalam dunia pesantren dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa atau berjarak dengan kehidupan masyarakat umum. Dengan kata lain, wayang dan gamelan adalah wilayah yang dianggap ”milik publik”, bukan milik santri di pesantren. Kedua, adanya pernyataan kedekatan antara santri dan seni tradisi Jawa menunjukkan bahwa kuasa pesantren tradisional tidak hanya terbentuk dalam dominasi religiusitas berupa dogma-dogma keagamaan yang saklek, tetapi terlihat lentur dan akulturatif.

Ketiga, hubungan antara santri dan kesenian menjelaskan pola penerusan tradisi. Bagi kalangan santri tradisional, wayang dan gamelan dianggap sebagai bagian dari syiar atau dakwah keagamaan. Seberapa pun kuatnya pembaruan dalam Islam yang menolak segala hal berbau makrifat ketradisian, pesantren-pesantren itu masih berusaha memegang teguh narasi atau kisah pengultusan tentang wali (Nasir, 2019). Peran wali (terutama Sunan Kalijaga) menjadi misionaris yang mengenalkan Islam dengan jalan ”menjadi Jawa”. Lebih jauh, walaupun menonton wayang ataupun bermain musik (gamelan) dipertentangkan hukumnya, apakah haram atau boleh, tidak gampang menjatuhkan pilihan. Persoalannya kemudian, saat menonton atau memainkan wayang semalam suntuk, berarti para santri telah meninggalkan tugas utama mereka, yakni mengaji. Hal yang ditakutkan kemudian, santri terlalu larut dan menemukan ekstase tontonan dalam pertunjukan wayang. Apalagi di ruang itu batas-batas fisik sering kali ditiadakan. Laki-laki dan perempuan dapat berbaur untuk menonton tanpa ada sekat. Dalam kehidupan dunia pesantren atau muslim Islam, hal ini sangat dihindari.

Dalam dunia seni Islam, nama-nama wayang mencoba dihubung-hubungkan dalam bahasa Arab seperti Janaka yang berarti Janatuka (yang berarti surga) serta Arjuna yang mendapat senjata rahasia bernama Kalimasada, yang oleh kalangan muslim dianggap kependekan dari kalimat syahadat (Lukens-Bull, 2008). Lakon-lakon wayang di dunia pesantren tidak semata bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata. Ki Joko Goro-Goro, seorang kiai di daerah Demak yang menggunakan wayang dan gamelan sebagai sarana dakwahnya, menjelaskan lakon-lakon wayang yang ditampilkan justru bernuansa sangat Islami seperti Nggoleki Tapake Nabi Muhammad, Semar Ngislam, Pandawa Sholawat, Puntadewa Dadi Kiai, dan sebagainya. Begitu juga lakon yang ditonton oleh Saifudin kecil yang berjudul Bima Ngaji.

Dinamika kehidupan pesantren, terutama yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU), menjadi cukup menarik untuk diamati tentang bagaimana kelonggaran-kelonggaran yang diberikan bagi para santri untuk menonton dan menikmati wayang. Lukens-Bull (2008) bahkan menyebut bahwa hari ini banyak pesantren yang menjadi sponsor utama pertunjukan wayang, konser gamelan, dan kesenian tradisi berbau Jawa lainnya. Artinya, kesenian (tradisi) dapat dipentaskan dengan bebas di dalam pesantren, sebagaimana saat Pondok Pesantren Gontor menghadirkan Ki Anom Suroto saat perayaan ulang tahunnya yang ke-90 (2016).

Ambivalensi hubungan antara wayang, gamelan, dan pesantren memicu Abdurrahman Wahid dalam sebuah artikelnya yang berjudul ”Seorang Santri Menilik Pandawa Lima” (24 Maret 1988) mengungkapkan bahwa kisah-kisah wayang justru memberi pelajaran atau ajaran lain yang tidak didapatkan dalam pesantren. Polemik wayang (dan gamelan) di dunia pesantren dengan demikian banyak menyedot perhatian kaum agamais muslim, antara boleh dan tidak boleh, sehingga mengharuskan beberapa kiai terkenal seperti Abdurrahman Wahid dan Kiai Saifudin meluruskan dengan versi dan pandangan masing-masing yang khas.

Pada konteks tertentu, musik lebih dapat diterima di dunia pesantren, semisal pembacaan lagu-lagu Islami yang bersumber dari albarzanji, salawatan, puji-pujian, dan sebagainya. Musik dalam konteks ini dianggap sebagai bagian integral dari ajaran Islam karena dapat mengakomodasi pembacaan ayat-ayat Alquran secara langsung. Hal yang paling mencolok dapat kita amati, misalnya, dalam pertunjukan atau pengajian Maiyah yang dilakukan oleh Emha Ainun Najib (Cak Nun) dengan kelompok gamelan Kiai Kanjeng-nya. Cak Nun menggunakan musik gamelan untuk berdakwah dan melantunkan puji-pujian keislaman yang sufistik. Handayani dan Swazey (2018) menjelaskan bahwa sebenarnya dunia pesantren sangat demokratif terkait dengan kesenian, terutama pada kalangan NU. Asalkan alasan logisnya dapat dijelaskan dengan baik dan bermanfaat bagi umat, tentu pesantren tidak akan menolaknya. (*)

*) ARIS SETIAWAN, Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta

 


Santri, Seni, dan Pesantren