ICW Minta KPK Telusuri Keterlibatan Nurdin Abdullah Dalam Kasus Lain

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

ICW Minta KPK Telusuri Keterlibatan Nurdin Abdullah Dalam Kasus Lain


JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah sebagai tersangka. Nurdin ditetapkan sebagai tersangka bersama Sekretaris Dinas PUTR Sulawesi Selatan, Edy Rahmat dan Direktur PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto setelah diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 5,4 miliar terkait proyek infrastruktur.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayoga menilai, penetapan tersangka Nurdin Abdullah patut disayangkan. Karena selama ini dia dikenal sebagai figur bersih dan inovatif.

“Pada tahun 2017, Nurdin pernah diberikan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) saat menjabat sebagai Bupati Bantaeng dan predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Ombudsman RI. Ia juga pernah menerima penghargaan Tokoh Perubahan,” kata Egi dalam keterangannya, Senin (1/3).

Egi menyampaikan, dari kasus ini dapat mengambil pelajaran bahwa pengawasan publik tidak sepatutnya melemah, ketika terdapat sosok yang dikenal bersih dan inovatif menduduki posisi pejabat publik. Karena pejabat publik memiliki kewenangan yang besar, sehingga potensi penyelewengan selalu terbuka lebar.

“Pengawasan ini krusial jika melihat kecenderungan publik yang seringkali melonggarkan pengawasannya atau permisif terhadap perilaku pejabat publik yang dikenal sebagai sosok orang baik,” cetus Egi.

Egi menegaskan, penetapan tersangka Nurdin sudah semestinya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri aspek-aspek lain yang berkaitan. Pertama adalah pentingnya penelusuran aliran dana dari uang suap yang diduga diterima oleh Nurdin.

Menurutnya, KPK perlu menelusuri hal tersebut untuk membuktikan apakah ada pihak lain yang turut menikmati uang tersebut, baik individu, atau organisasi seperti partai politik. Jika terbukti, maka pihak-pihak tersebut patut untuk ikut dijerat.

Penelusuran itu menjadi penting, mengingat biaya politik dalam kontestasi pemilu di Indonesia teramat mahal. Untuk menutupi kebutuhan pemilu, kandidat pejabat publik seperti kepala daerah kerap menerima bantuan dari pengusaha.

“Kandidat juga perlu memberikan mahar politik kepada partai politik. Sehingga saat menjadi pejabat publik, ia akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan balas budi ataupun memfasilitasi permintaan dari pihak-pihak tersebut. Upaya tersebut diantaranya adalah praktik-praktik korupsi,” beber Egi.

Kedua, KPK perlu mendalami dugaan keterlibatan Nurdin dalam proyek-proyek infrastruktur lainnya. Karena, Nurdin pernah disebut-sebut memanfaatkan kewenangannya dalam memberikan AMDAL terhadap dua perusahaan pertambangan pasir, yaitu PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Nurdin diduga menekan bawahannya agar perusahaan tersebut mudah mendapatkan AMDAL.

“Perusahaan tersebut lalu diketahui terafiliasi dengan dirinya dan berisikan orang-orang yang pernah menjadi tim sukses dalam kontestasi pilkada. Perusahaan itu juga diketahui akan memasok kebutuhan proyek infrastruktur Makassar New Port yang merupakan proyek strategis nasional,” ungkap Egi.

Egi menyebut, kasus Nurdin juga menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan. Pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang masif dan menyebar di seluruh Indonesia telah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo.

“Namun kita perlu melihat bahwa nafsu untuk membangun infrastruktur justru dapat berimbas pada munculnya praktik-praktik korupsi yang meluas, bagi-bagi konsesi, serta kerugian bagi warga yang berlokasi di sekitar proyek infrastruktur,” tandas Egi.

Dalam perkaranya, KPK menduga Nurdin Abdullah menerima suap dan gratifikasi total Rp 5,4 miliar. Adapun rincian suap dan gratifikasi itu antara lain, Nurdin menerima uang melalui Edy Rahmat dari Agung Sucipto pada Jumat, 26 Februari 2021. Suap itu merupakan fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan kerjakan oleh Agung.

Selain itu, Nurdin juga pada akhir 2020 lalu pernah menerima uang senilai Rp 200 juta. Penerimaan uang itu diduga diterima Nurdin dari kontraktor lain. Kemudian pada pertengahan Februari 2021, Nurdin Abdullah melalui Samsul Bahri (ajudan NA) menerima uang Rp 1 miliar dan pada awal Februari 2021, Nurdin Abdullah juga melalui Samsul Bahri menerima uang Rp 2,2 miliar.

Sebagai penerima Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan sebagai pemberi Agung Sucipto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Saksikan video menarik berikut ini:


ICW Minta KPK Telusuri Keterlibatan Nurdin Abdullah Dalam Kasus Lain