Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat


JawaPos.com – Keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa bali melakukan tes PCR 2×24 jam sebelum keberangkatan berpolemik. Banyak pihak yang keberatan karena alasan biaya, tapi tak jarang juga yang mendukung dengan alasan keamanan.

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan. Hal ini kemudian bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan transportasi udara.

”Dampaknya juga akan dirasakan dunia penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya, Sabtu (23/10).

Di sisi lain, kata dia, kebijakan ini kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya moda transportasi udara yang diwajibkan. Sedangkan, moda transportasi lain masih diperkenankan menggunakan tes Rapid Antigen. Bahkan ada juga yang hanya menunjukan bukti telah vaksin.

Selain itu, menurutnya, perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha. Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan harusnya cukup dengan antigen yang lebih tejangkau.

Karenanya, ia mendesak agar kebijakan ini dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis medis. Bukan screening perjalanan. ”Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” tuturnya.

Namun, bila pemerintah masih kekeuh menjadikan tes PCR kewajiban penumpang pesawat, maka pemerintah perlu menekan seminimal mungkin biaya tes. Dengan demikian konsumen bisa menebus tarif tes PCR dg harga terjangkau. ”Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya,” sambungnya.

Kesulitan mendapat tes PCR ini diamini oleh Salman Toyibi, 27, calon penumpang Batik Air rute Tarakan-Jakarta. Dirinya sempat frustasi lantaran tak bisa menemukan lokasi layanan PCR 24 jam di Tarakan, Kalimantan Utara. Padahal, tiket pulang ke Jakarta sudah ditangan.

Dia telah menghubungi sejumlah rumah sakit penyedia layanan PCR di sana. Sayangnya, tak ada yang bisa memberi hasil PCR cepat. Bahkan, salah satu rumah sakit menyatakan harus mengirim sample ke Jakarta terlebih dahulu. Sehingga membutuhkan waktu beberapa hari hingga hasil bisa diperoleh. Itu pun, pengambilan sample tidak bisa dilakukan di Sabtu-Minggu. Hanya di hari kerja dan jam tertentu. Sementara, dirinya harus terbang pada Senin (25/10).

”Ini sih bisa pergi, gak bisa pulang,” keluhnya.

Hingga akhirnya, dia mendapat rekomendasi untuk PCR di salah satu klinik dari kenalannya. Menariknya lagi, ada tiga paket yang ditawarkan untuk PCR di sana. Paket pertama seharga Rp 600 ribu dengan catatan, hasil tak bisa digunakan untuk syarat perjalanan. Kepastian kapan hasil keluar pun tak bisa diberikan. Begitu pula dengan paket kedua yang dibandrol Rp 750 ribu. ”Yang ini bisa dipakai untuk terbang, tapi gak tau kapan keluarnya (hasilnya, red),” katanya kemudian terkekeh.

Akhirnya dia memutuskan mengambil paket ketiga seharga Rp 900 ribu dengan kepastian hasil keluar dalam dua hari. Dan tentunya, bisa digunakan untuk syarat perjalanan dengan moda pesawat terbang.

”Nggak kebayang di daerah yang lebih terpencil. PCR-nya itu gimana. Kayak di Sebatik itu yang gak ada,” ungkapnya.

Sebetulnya, kata dia, aturan wajib PCR ini tak jadi soal. Bahkan, bisa meningkatkan keamanan saat perjalanan. Namun, harus dibarengi dengan ketersediaan laboratorium yang mendukung tes PCR dengan hasil cepat. sehingga, masyarakat tidak kesulitan untuk memenuhi persyaratan penerbangan tersebut.

Berbeda dengan YLKI, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena justru mendukung penuh langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, syarat tersebut diterapkan sebagai langkah untuk mencegah penularan Covid-19 saat perjalanaan. ”Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik mencegah ada potensi munculnya klaster daripada baru diobati,” ujar Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut.

Diakuinya, kondisi Covid-19 di Indonesia mulai melandai. Meski begitu, potensi penularan Covid-19 di ruang publik masih ada. Belum lagi, risiko munculnya penularan gelombang ketiga yang kini banyak meluluhlantakkan sejumlah negara.

Oleh karena itu, kata dia, syarat tes PCR dapat dignakan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan penularan Covid-19 di ruang publik. Tak terkecuali di dalam pesawat terbang.

Selain itu, Melki juga berharap pemerintah bisa melakukan pemeriksaan COvid-19 secara rutin di ruang-ruang publik lain. Bukan hanya di sarana transportasi massal. Seperti sekolah-sekolah yang kini mulai PTM terbatas, pusat-pusat perdagangan, atau perkantoran. Mengingat saat ini aktivitas masyarakata sudah mulai berangsur pulih.

”Mesti ada upaya untuk kita secara periodik tes acak, misalnya seminggu sekali atau dua kali di kantor, di sekolah, ada swab antigen misalnya, acak gitu,” ungkapnya.

Senada dengan Melki, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama juga sepakat agar test PCR digunakan untuk syarat bepergian dengan pesawat terbang ini. Sebab, PCR merupakan “gold standard” dengan tingkat akurasi yang paling tinggi untuk tes Covid-19.

”Artinya, hasil negatif test PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19,” tuturnya.

Sementara, dengan sensitivitas dan spesifisitas pada rapid antigen, meski hasil negatif maka masih ada kemungkinan virus SARS CoV 2 penyebab Covid-19 dalam tubuh seseorang. Yang tentunya, punya potensi untuk menular ke orang sekitarnya.

Namun, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini juga memberi sejumlah catatan pada aktivitas penerbangan yang sudah berjalan saat ini. Secara umum bandara sudah cukup ramai penumpang dan di beberapa restoran pengunjung cukup banyak. Yang perlu diperhatikan ialah sering terjadi titik kepadatan yang membuat penumpak berkerumun. Misalnya, ketika antri akan naik pesawat di gate di bandara. Antrian masuk ke pesawat yang cukup panjang praktis membuat penumpang tidak menjaga jarak. ”Hal ini sebaiknya diperbaiki, walaupun sedang antri maka tetap harus berjarak setidaknya 1 meter antar penumpang,” katanya.

Kondisi serupa juga terjadi saat pemeriksaan eHAC di bandara kedatangan. Dia menyarankan ada inovasi lain agar antrian dapat dikurangi dan tidak menimbulkan kerumunan. ”Misalnya dengan menyediakan mesin agar penumpang dapat langsung menscan eHAC tanpa perlu harus antri dan di cek satu per satu,” sambung Guru Besar FK UI tersebut.

Pada bagian lain, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kembali mengeluarkan aturan baru terkait sistem kerja aparatur sipil negara (ASN) di masa pandemi. Sistem kerja tersebut tercantum dalam SE Menteri PANRB No. 24/2021 tentang Perubahan Atas SE Menteri PANRB No. 23/2021 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai ASN Selama Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19.

”Perubahan dilakukan setelah melihat status penyebaran Covid-19 di Tanah Air saat ini,” ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Tjahjo Kumolo.

Berbeda dengan sebelumnya, kini sistem kerja ASN yang berada dalam PPKM level 1 juga mulai diatur. Untuk sector non-esensial di Jawa dan Bali misalnya. Bagi mereka yang berada di wilayah PPKM level 1 maka sudah bisa masuk kantor dengan maksimum 75 persen pegawai. Kemudian, di PPKM Level 2 sebanyak 50 persen WFO, Level 3 sebanyak 25 persen WFO. Seluruhnya, hanya diperuntukkan bagi pegawai yang sudah divaksin Covid-19. ”Sementara di PPMK level 4, pegawai masih 100 persen work from home (WFH),” katanya.

Kemudian untuk Luar Jawa dan Bali, untuk wilayah yang masuk PPKM Level 1 dan 2 dengan kabupaten atau kota zona hijau, kuning, dan oranye diberlakukan 50 persen WFO. Sementara kabupaten atau kota zona merah diberlakukan 25 persen WFO.

Selanjutnya, untuk PPKM Level 3 sebanyak 50 persen WFO dan PPKM Level 4, sebanyak 25 persen WFO. Seluruhnya diproritaskan bagi pegawai yang telah divaksinasi. Lalu, jika ditemukan klaster Covid-19, maka kantor wajib ditutup selama lima hari.

Beda lagi dengan kantor pemerintahan sektor esensial. Untuk wilayah Jawa dan Bali yang masuk PPKM Level 1 maka pegawai WFO maksimal 100 persen. Sementara, untuk PPKM Level 2, maksimal 75 persen WFO dan PPKM Level 3 dan 4, maksimal 50 persen WFO.

Untuk di luar Jawa dan Bali yang berada di wilayah PPKM Level 3, pegawai WFO maksimal 100 persen. Kemudian, yang berada di PPKM Level 4, maksimal 50 persen WFO.

Sementara, untuk kantor pemerintahan sektor kritikal baik Jawa dan Bali maupun di luar wilayah tersebut, pegawai bisa masuk kantor secara penuh.


Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat