5 Desainer Ungkap Perjuangan Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

5 Desainer Ungkap Perjuangan Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19


JawaPos.com – Pandemi Covid-19 membuat semua segmen terpukul. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga sektor bisnis juga ikut merugi, termasuk industri fashion. Tapi bagi para desainer, menghadapi pandemi Covid-19 bukan berarti harus mengeluh. Melainkan jadi momentum untuk bangkit dan kreatif.

Dalam konferensi pers virtual baru-baru ini, para desainer bercerita bahwa pandemi justru membuat mereka lebih kreatif. Tantangan dalam membuat Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, justru makin memperkuat Fashion Statement seseorang.

“Cerita para desainer diharapkan akan menginspirasi kepada temen-temen UMKM, semangat yang bisa diambil berdasarkan ketakutan adanya Covid-19 ini bisa lebih baik lagi, dan bagaimana menghadapi New Normal serta setelah pandemi,” kata National Chairman Indonesia Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma

1. Rosie Rahmadi (IFC Bandung)

Rosie Rahmadi meyakini bahwa mental memang harus kuat menghadapi pandemi. Dia terus memberikan semangat pada keluarga, teman, dan karyawan.

“Beruntung bulan Februari ada event MUFFEST, sudah banyak pesanan untuk Lebaran. Jadi mengerjakan itu dahulu, untuk outlet ditutup, pengerjaan dilakukan semuanya dari rumah atau separuh kerja separuh masuk di workshop. Saya seminggu 2-3x ke produksi,” kata Rosie.

“Brand itu tidak boleh hilang di benak konsumen, jadi kami tetep eksis di media sosial. Sebelumnya sudah ada pendampingan dari senior,” tambahnya.

2. Khairul Fajri (IFC Aceh)

Aceh sudah memberlakukan jam malam sejak adanya Covid-19. Masyarakatnya mulai berjaga-jaga di setiap kampung dengan membuat portal-portal sebagai pintu penghalang. Hal itu cukup memberikan tantangan bagi para pelaku industri fashion.

“Biasanya kami mengandalkan offline, tamu-tamu domestik dari Jakarta datang untuk membeli souvenir. Namun memang dampak dari produksi/penjualan untuk income pekerja yang sebagian besar borongan agak terdampak,” katanya.

Maka pada saat sarung tidak ada penjualan, desainer melihat peluang untuk membuat masker kain untuk masyarakat. Karena masker medis hanya digunakan untuk tenaga medis.

“Kami membuat masker kain dengan menciptakan pola baru yang simpel dan cepat pada saat itu. Dan fashionable juga. Banyak media datang ke workshop baik dari daerah maupun luar kota sampai media dari Prrancis juga sempat mampir ke workshop untuk melihat,” jelasnya.

3. Phillip Iswardono (IFC Jogjakarta)

Philip melihat musibah dan pandemi dari sisi kacamata positif. Produknya yakni kain lurik, pada awal-awal memang mulai merasakan tidak ada order. Di tengah kegalauan, barulah pada pekan ketiga muncul ide baru. Bagaimana caranya desainer bisa tetap berjualan.

“Saya mulai membangun networking kembali, menghubungi database klien. Dari jualan masker 3500 kain perca, sampai masker seharga Rp 1 juta dengan bahan kain tenun langka. Saat ini museum peranakan di Singapura sudah memesan 1860 dengan batik motif-motif peranakan,” katanya.

4. Hannie Hananto (IFC Jakarta)

Hannie Hananto meminta semua desainer dan UMKM harus tetap semangat dalam masa pandemi ini. Dia pun tak sengaja membuat kreasi. Pada saat itu brand miliknya yakni Hannie Hananto dan Anemone by hannie Hananto berupa kartun-kartun dan polkadot, semuanya serba print. Namun sayangnya event-event offair semuanya harus dibatalkan.

“Karena sudah ada stok produksi dan persiapan yang lumayan ready akhirnya lewat media sosial bisa teratasi,” jelas Hannie.

“Kemudian masker mulai langka di pasaran, kemudian saya terpikir kenapa tidak saya buat sendiri dengan motif saya sendiri, kemudian saya posting di medsos dan lumayan untuk permintaannya,” ungkapnya.

5. Riri Rengganis (IFC Bandung)

Menurut Riri, sadar bahwa bertahan atau tidaknya desainer tergantung pada keuletan masing-masing. Dirinya selalu mengangkat bahan tekstil dari awal.

“Karena akhirnya daya beli yang berkurang, sejak Januari-Februari sudah menurun, sementara Maret kelihatanya mulai turun, kemudian April sudah benar benar mulai stop produksi, maka saya pun mulai putar strategi,” ungkapnya.

Strategi pertama yakni mengecek kembali customer database. Hanya untuk menyapa.

“Tapi malah banyak terima balasan yang tidak punya uang lah, bisnis lagi sepi yang akhirnya saya harus cari cara lain. Kemudian saya stop broadcasting WA/medsos/ karena untuk jualan rasanya agak sulit, mengingat harga baju yang saya jual di atas Rp 1 juta semua,” katanya.

Akhirnya dia melakukan evalusi produk dan membuat menu baru di website. Hingga menggarap pembuatan masker. Pada Mei sudah mulai banyak mendapatkan pesanan baju dan masker.

“Masker ini sebagai pancingan atau alat marketing untuk mendatangkan customer baru. Tiga minggu jualan sampai malam. Alhamdulillah gaji ketutup, THR telah dibayarkan setengah, dan sisanya akhir bulan ini, tidak mem-PHK karyawan,” ujar Riri.

Saksikan video menarik berikut ini:

 

 


5 Desainer Ungkap Perjuangan Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19