Kejar Sinyal hingga ke Bukit, Curi Laptop demi Anak

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kejar Sinyal hingga ke Bukit, Curi Laptop demi Anak


Salah satu problem dengan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh saat ini, kelasnya daring, tapi bukunya model tatap muka. Kemendikbud akan mengumumkan hasil evaluasinya akhir pekan depan.

ADIFA Asna Gania gembira sekali belajar di pos ronda itu. Ada teman untuk bertanya jika ada pelajaran yang tak dia pahami. Sebab, bertanya ke guru saat kelas daring juga tak mungkin.

”Saya tak punya HP (handphone),” kata siswa kelas V SDN Brumbun, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, itu kepada Jawa Pos Radar Caruban.

Dirga Juan, salah seorang kawan belajarnya di pos ronda Dusun Sukorejo, Desa Brumbun, pada Kamis pagi lalu (23/7) itu memang punya ponsel. Tapi, juga percuma lantaran tidak support dengan materi pembelajaran. ”Tidak ada internet,” katanya.

Nun di Desa Tanjung Paku, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, puluhan pelajar –jenjang SMP, SMA, SMK– harus berkejaran dengan sinyal seluler yang terbatas.

Mereka mesti ke bukit atau dataran yang agak tinggi agar bisa mengikuti kelas daring.

”Di sini memang susah sinyal. Kami prihatin sekali dengan kondisi anak-anak,” kata Kepala Desa Tanjung Paku Marwanto kepada Jambi Ekspres.

MEMBURU INTERNET: Sejumlah pelajar di Desa Tanjung Paku, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, menuju bukit agar bisa mendapatkan akses internet. (JAMBI EKSPRES)

Di Jawa Timur, Jambi, atau di sudut Indonesia mana pun, pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai pengganti kelas tatap muka yang ditiadakan karena pandemi Covid-19 memang telah menciptakan banyak masalah.

Di Jombang, Jawa Timur, ada seorang ibu yang harus menjual kambing hanya agar bisa membelikan HP anaknya. Di Labuhanratu, Lampung, Hermansyah bahkan sampai mencuri laptop agar anaknya yang baru masuk SMP bisa ikut kelas daring. Seperti dilaporkan Radar Lampung Rabu lalu (22/7), pria 44 tahun itu pun harus berurusan dengan polisi.

Bahkan, yang tak punya kendala dengan gawai dan sinyal pun mengeluhkan biaya internet yang membengkak. Juga, waktu serta tenaga yang mesti dicurahkan untuk mendampingi anak-anak. Padahal, di saat yang sama punya tanggung jawab lain.

Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Jumeri membenarkan bahwa masih ada sejumlah hambatan di PJJ pada tahun ajaran baru ini. Misalnya, masih ada anak yang kesulitan karena tak punya perangkat. Lalu, akses internet terbatas.

Tidak hanya dialami anak, guru pun sama. ”Masih ada sejumlah pengajar yang mengalami hambatan soal akses dan kesulitan terhadap pembelajaran daring. Meski, pengetahuannya mengenai pola pembelajaran sudah meningkat dibanding sebelumnya,” katanya.

Jaringan internet di Indonesia saat ini memang masih belum meng-cover seluruh wilayah tanah air. Data dari Kementerian Kominfo 2019 menyebutkan bahwa cakupan jaringan 4G di Indonesia saat ini 97,59 persen. Untuk jaringan 3G sekitar 96,30 persen. Adapun jaringan 2G nyaris 100 persen. Tepatnya di angka 99,19 persen.

Jaringan internet itu ditopang base transceiver station (BTS) yang mencapai 479 ribuan unit. Untuk BTS jaringan 4G, jumlahnya 173.294 unit. Sementara itu, jika dihitung berdasar cakupan desa atau kelurahan, jaringan 4G tersedia di 87,44 persen desa atau kelurahan di Indonesia. Adapun jaringan 3G ada di 83,75 persen.

Menurut Rektor Universitas Terbuka (UT) Ojat Darojat, saat ini terjadi kesalahpahaman terhadap pelaksanaan PJJ. Ketika pembelajaran sudah dilakukan dengan Zoom, Google Meet, dan aplikasi telekonferensi sejenis, itu dianggap sudah menjalankan PJJ.

’’Padahal belum. Zoom dan sejenisnya itu hanya salah satu learning delivery saja,’’ katanya seusai membuka Temu Ilmiah Nasional Guru (TING) XII di kampus UT, Tangerang Selatan, Banten, kemarin (25/7).

UT adalah institusi pendidikan yang telah berpengalaman panjang menjalankan PJJ. Ojat mengatakan, interaksi virtual dengan Zoom dan sejenisnya itu bersifat sinkronus. Padahal, di dalam proses PJJ yang lebih penting adalah pembelajaran yang berifat asinkronus.

Pembelajaran asinkronus itu tidak terikat waktu. Siswa bisa belajar secara mandiri sesuai dengan ketersediaan waktu. Tidak seperti interaksi sinkronus melalui Zoom yang ditentukan jamnya. ’’Misalnya, ditentukan jam 10 sampai 11. Ini kan tidak luwes lagi,’’ tuturnya.

Ojat mengatakan, UT sejak lama sudah mengembangkan materi belajar secara asinkronus. Dengan begitu, mahasiswa mereka bisa mempelajarinya sesuai dengan kelonggaran waktu masing-masing. Konten belajar asinkronus itu beragam isinya. Di antaranya adalah berbasis video.

Ojat menambahkan, PJJ tidak mutlak harus memiliki akses internet. Dia mengatakan, akses internet hanya dibutuhkan saat pelaksanaan learning delivery yang menggunakan pertemuan virtual itu.

Sejatinya, dalam pelaksanaan PJJ, banyak strategi yang bisa dilakukan sehingga tidak harus terpaku pada ketersediaan jaringan internet. Salah satunya ketersediaan buku untuk mendukung proses PJJ yang semestinya juga berbeda dengan buku pelajaran tatap muka.

Problemnya saat ini, kata Ojat, para siswa menjalani PJJ, tetapi buku yang dipakai adalah buku untuk tatap muka. ”Sehingga tidak nyambung,” katanya.

Di Bantul, Jogjakarta, Ery Marthantini, seorang ibu rumah tangga, menceritakan, di sekolah anaknya, SD Budi Mulia Sedayu, materi dan worksheet (lembar kerja) dibagikan setiap Senin. Sedangkan setiap hari video materi pelajaran dibagikan di grup WA (WhatsApp) kelas sesuai jadwal pelajaran.

Satu hari hanya dua pelajaran. ”Begitu melihat video materi, anak-anak langsung mengerjakan worksheet-nya. Setelah seminggu, bertemu Senin lagi, worksheet minggu lalu dikumpulkan, dan materi baru dibagikan,” kata Ery menceritakan model PJJ sang anak, Azalea Sorcha Nirwasita, yang duduk di kelas III itu.

Jumeri tak menampik bahwa PJJ belum mencapai hasil maksimal. Namun, perlu diingat juga bahwa kondisi saat ini memang tidak mudah.

Sudah banyak orang tua yang meminta sekolah untuk kembali dibuka. Alasannya, anak-anak memang tak berangkat ke sekolah, tapi tetap bermain bebas di luar.

Terkait itu, dia menegaskan bahwa sudah ada SKB empat menteri yang jadi pedoman untuk saat ini. Dia meminta agar hal tersebut dipatuhi dan diikuti terlebih dahulu.

Sebab, lanjut dia, buka sekolah itu pun bukan perkara gampang. Mengingat, di sejumlah sekolah berasrama yang telah dibuka justru menyebabkan adanya klaster baru. ”Mohon sabar dulu, mudah-mudahan akhir minggu depan kita keluarkan hasil evaluasinya,” paparnya.

Ojat menggarisbawahi pentingnya PJJ memiliki buku sendiri. Meskipun materinya sama, isi berbeda. ’’Buku untuk PJJ itu kami menyebutnya self content,’’ katanya.

Maksudnya, ketika siswa membaca buku tersebut, seluruh informasi atau penjelasannya sudah tersedia. Berbeda dengan buku untuk pembelajaran tatap muka yang membutuhkan penjelasan dari guru.

Dengan adanya buku yang khusus untuk PJJ itu, siswa bisa memahami materi pokok pelajaran secara mandiri. Ketika penjelasan teks saja kurang memenuhi, dilengkapi gambar.

Termasuk juga dilengkapi contoh soalnya. Bahkan, sampai dilengkapi dengan video atau rekaman suara.

Tentu butuh waktu agar PJJ bisa mengatasi berbagai hambatan. Untuk sementara waktu, yang bisa dilakukan adalah menyiasatinya.

Seperti yang dilakukan para bocah di pos ronda Desa Brumbun di Madiun tadi. ”Enak belajar di poskamling daripada di rumah nggak ada yang ngajari,” kata Muammar Fauzan Ardafa, kawan belajar Adifa dan Dirga di pos ronda yang sama.

Ery juga menyebut PJJ di sekolah anaknya menguntungkan karena waktu belajar jadi fleksibel. Tak perlu repot pakai seragam pula.

”Cuma, ada minusnya juga, disiplin anak jadi kendur. Bangun kesiangan, jadwal tak menentu karena tidak terikat waktu,” katanya.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

 

 


Kejar Sinyal hingga ke Bukit, Curi Laptop demi Anak