Berjauhan di Hutan Angan-Angan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Berjauhan di Hutan Angan-Angan


SERAMPUNG makan siang, Senin 29 Juni 2020, saya bertandang ke studio Anton Subiyanto di sebuah sudut Desa Wonotawang, Bantul, Jogjakarta. Dengan celana panjang selutut, kaos oblong bertuliskan “Es Jus Comik” dalam lingkaran biru Manchester City, sebatang rokok di tangan, dan segelas kopi di atas meja, perupa hampir 40 tahun itu menerima kedatangan saya.

Studio itu berdiri di atas tanah berundak seluas 340 m2 yang dibelinya pada 2016. Arsitekturnya limasan berukuran 11 x 12 m2, berlantai keramik putih. Dengan tambahan bangunan beton di belakangnya yang terdiri dari dua kamar untuk tidur dan simpan barang, dapur, serta peturasan. Di sinilah Anton biasa menggambar atau melukis.

Di depan-atas studio limasan itu terdapat bangunan berukuran 6 x 9 m2. Mirip rumah biasa tanpa kamar yang berfungsi sebagai studio grafis. Siang itu, dengan dua alat cetak yang berselimut plastik dan torso batu Buddha yang khusyuk di samping pintu, ia tampak nelangsa seperti seorang istri yang jarang dibelai entah sudah berapa lama.

Tiga langkah di muka studio grafis ada semacam gardu terbuka tempat aneka benda, antara lain dua sepeda tua, kayu-kayu bekas, kursi lawas, bangku panjang, ukiran patung ala Asmat, dan sebatang anggrek. Berdekat-dekatan tapi tak saling bersentuhan. Perupa kelahiran Jogjakarta 29 September 1980 itu menyebutnya dengan istilah yang kedengaran menggelikan sonder saya mengerti artinya: “Eplek-eplek”.

Kecuali besaran biaya beli tanah dan ongkos bangun studio, Anton mengungkapkan bahwa itu semua merupakan penghabluran daya cipta dari pameran tunggalnya Morning and Happiness di Taksu Bali pada 7 Juni-7 Juli 2014. Mengusung 8 buah lukisan berukuran 100 x 130 sentimeter yang dibuatnya ketika mendekam di “hotel prodeo”, sungguh mencengangkannya tatkala mengetahui kedelapan lukisan itu habis terjual.

Anton Subiyanto memahat patung ala suku Asmat. (Wahyudin)

Seperti pagi yang cerah, dengan matahari yang bersinar hangat, kenyataan itu memberikannya sejuta rasa bahagia yang menghelanya menuju kebijaksanaan penuh khidmat ini: “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.” Apalagi, tiga bulan serampung Morning and Happiness, lukisannya Old Stock Fresh Menu menjadi kampiun dalam kompetisi UOB Painting of The Year 2014 di Jakarta.

“Komposisi dan kombinasi warnanya adalah kekuatan Old Stock Fresh Menu,” ungkap Agus Dermawan T., salah seorang juri UOB Painting of The Year 2014, kepada Koran Tempo, 3 Desember 2014.

Lukisan itu berpokok perupaan kuali raksasa berisi makhluk-makhluk dan benda-benda garib yang terpanggang di atas kayu bakar. Warna hijau toskanya lembut menonjol dengan latar belakang hitam pekat memenuhi seluruh bidang kanvas. Kontras itu dimaknai Agus Dermawan T. sebagai “simbol bahwa kebudayaan hedonisme selalu tampil dengan lembut meski sesungguhnya mengancam.”

Dengan begitu, lukisan tersebut memiliki, pinjam istilah Agus Dermawan T., “pesona visual” yang tak tertandingi oleh 1.070 lukisan peserta lainnya. “Pesonan visual itu merupakan pintu utama yang mengajak orang untuk meniti detail dan memahami makna-makna bentuknya,” kata Agus Dermawan T.

“Lukisan Old Stock Fresh Menu terasa ekspresif, impresif, sekaligus dekoratif, dengan isi yang filosofis,” tandas penulis seni rupa kawakan asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu.

Tak sampai di situ, bak “dapat durian runtuh”, pada akhir November, lukisan itu pun terpilih sebagai juara UOB Southeast Asian Painting of The Year 2104 di Singapura. Lukisan itu beroleh pujian sebagai johan yang dibikin dengan “teknik berlapis” dan memiliki “kemampuan menyampaikan pesan suram dengan cara halus namun menyenangkan.”

Itu sebabnya, tak ingin seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, tak mau lagi membawa lari luka dan bisa sebagaimana masa-masa jahiliahnya, perupa keluaran ISI Jogjakarta itu mensyukuri ratusan juta rupiah yang diperolehnya dari kompetisi dan pameran tersebut untuk membangun rumah, kos-kosan, dan studio.

Saya kira itu perbuatan terpuji dan bermanfaat. Rumah adalah surga keluarga penuh kemesraan bersama istri dan anak-anak. Kos-kosan berguna sebagai pendapatan tambahan. Studio berfaedah sebagai lokus kreasi yang memungkinkannya berdaya cipta di ruang dan waktu yang berjarak dari persoalan-persoalan pribadi dan ekonomi sehari-hari.

“Saya betul-betul membutuhkan jarak itu, bahkan harus menjaga jarak itu untuk menghidupi subyektivitas saya dalam berseni rupa,” kata Anton.

Tapi lebih dari sekadar jarak fisik atau geografis, berada di studio berarti berpindah dari ruang sosial yang intim ke ruang produksi yang nyaman untuk menghirup hidup berseni rupa.

“Jarak dari rumah saya di Suryowijayan, Mantrijeron, Jogjakarta, ke studio ini sekitar 8 km,” kata jebolan Arsitektur UGM itu.

“Ongkos bensinnya setiap hari Rp 20.000. Tapi bukan itu soalnya, melainkan ikhtiar, dan cerminan kepada keluarga saya, bahwa seni rupa butuh kerja keras untuk memperjuangkannya.”

Itu sebabnya, sekalipun tak jarang menerima komentar miring sebagai “jadi kurang pergaulan” dari teman-temannya, Anton bergeming untuk tetap berjauhan di studio berpintu-pagar besi hijau itu setiap hari, kecuali Minggu, dari pukul sepuluh pagi sampai pukul enam petang. Apalagi hari-hari ini, saat pandemi Covid-19 mengharubirukan republik ini, yang membikin sejumlah program pamerannya tertunda hingga entah, dia justru keranjingan ke studio.

“Sejak studio ini terbangun pada 2017, saya berketetapan untuk setidaknya menghasilkan satu karya setiap bulan,” kata bapak tiga anak itu.

Lukisan Gus Dur yang belum selesai. (Wahyudin)

Maka bisa dimengerti, ketika hasrat berjauhannya tak tertahankan, pada Minggu sekalipun, tatkala keluarga-keluarga lainnya ke gereja untuk ibadah atau pengakuan dosa, dia akan ke studio dengan membawa serta istri dan anak-anaknya. Saya pun ngeh kenapa di studio itu ada kolam plastik dan perosotan anak.

Tapi kerja kreatif perupa tak sama dengan kerja kantoran aparatus sipil negara atau kerja fisik buruh pabrik. Pada situasi dan kondisi tertentu, bahkan bisa jadi setiap saat berada di studio, Anton siap-sedia dengan improvisasi-improvisasi ala Basiyo atau Srimulat. Terutama kala menerima orang-orang yang berkunjung tiba-tiba dengan macam-macam kepentingan. Dari sekadar ingin ngopi sambil ngobrol ngalor-ngidul sampai serius bernegosiasi karya atau proyek seni rupa, yang membikinnya tetap rileks berada di studio.

Seperti hari itu, saat sore menjelang, anak gadis Anton yang mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Jogjakarta datang bersama dua temannya laki-laki. Mereka akan merekam wawancara Anton untuk suatu tayangan di Youtube.
Saya pikir itu saat yang tepat untuk pamit. Tapi sebelum benar-benar melakukannya saya bertanya kepada mantan aktivis di sebuah LSM di Jogjakarta itu.

“Apa nama studio ini?”

“Belum ada.”

“Kenapa tak kau namakan Studio Hutan Angan-Angan? Bukankah Wonotawang berarti Hutan Angan-Angan? Kedengarannya imajinatif, puitis, dan romantis.”

“Benar, benar … Menarik juga tuh!”

Dengan itu, seraya menengok sejenak lukisan Gus Dur berukuran 130 x 150 sentimeter yang belum rampung dikerjakannya di tengah studio, saya pun minta diri. (*)


*) Wahyudin, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta


Berjauhan di Hutan Angan-Angan