Dugaan Penyimpangan BPNT Gresik: Ada Nama Lisa di Supplier Besar

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dugaan Penyimpangan BPNT Gresik: Ada Nama Lisa di Supplier Besar


JawaPos.com − Penelusuran dugaan penyimpangan penyaluran bantuan pangan nontunai (BPNT) atau program sembako mendapati sejumlah fakta baru. Di antaranya, ada nama Lisa Umami yang disebut-sebut sebagai salah seorang supplier atau pemasok besar yang mengover banyak desa.

Data yang didapat Jawa Pos, di wilayah Kecamatan Cerme saja, pada Juni lalu Lisa menyuplai tiga agen yang mengover lima desa. Yakni, Desa Cerme Lor dengan jumlah penerima BPNT sebanyak 272 warga atau keluarga penerima manfaat (KPM), Lengkong (199 KPM), Sukoanyar (461 KPM,) Dooro (218 KPM), dan Guranganyar (225 KPM).

Tiga agen dalam naungan Lisa di Kecamatan Cerme tercatat atas nama Budi, Winarti, dan Novi. Tiga agen itulah yang mendistribusikan paket sembako kepada para KPM.

Rabu (15/7) tim Jawa Pos mewawancarai perempuan berusia 36 tahun itu. Namun, ibu empat anak tersebut mengaku tidak mengetahui dengan pasti jumlah agen yang mengambil komoditas di tempatnya setiap bulan. Berapa rata-rata jumlah komoditas yang disuplai kepada agen pun, Lisa mengaku tidak hafal.

Apakah suplai beras mencapai 100 ton per bulan? Awalnya, Lisa menjawab lebih. Namun, beberapa saat kemudian, dia mengaku tidak sampai 100 ton. ”Berapa KPM saya lupa, tapi kalau di Cerme itu hanya menyuplai adik saya dan teman,” katanya.

Bagaimana bisa menjadi supplier besar? Dia mengaku sering meminjami modal kepada para agen. Istilahnya, ambil komoditas dulu, bayarnya belakangan. ”Saya kan agen BNI, kemudian saya juga punya selepan (mesin penggilingan padi, Red). Saya menawari agen-agen itu. Itu awalnya saya jadi supplier,” ungkapnya.

Padahal, sesuai pedoman Kementerian Sosial (Kemensos) dalam program BPNT yang didapat Jawa Pos, telah diatur beberapa syarat untuk bisa jadi agen atau e-warong. Salah satunya memiliki tabungan bank penyalur dengan ketentuan saldo minimal.

Lalu, siapa yang membuat sistem pemaketan sembako itu? Bukankah dalam aturan para KPM bisa membelanjakan barang atau komoditas sesuai kebutuhan? Lisa mengaku pemaketan sembako tersebut disepakati di forum tim koordinasi (tikor). Memang, dia sudah mengemas beras itu sehingga para agen tinggal menyalurkan kepada KPM.

Apakah supplier terlibat dalam rapat tikor? Lisa mengaku ikut dalam rapat tersebut. ”Iya, saya ikut,” ucap perempuan asal Kecamatan Manyar itu.

Pengakuan Lisa itu mengundang pertanyaan. Sebab, sumber Jawa Pos dari koordinator kecamatan (korcam) program keluarga harapan (PKH) menyebutkan, sesuai ketentuan, rapat tikor BPNT itu hanya dihadiri sekretaris kecamatan (selaku ketua tikor), sekretaris tikor (Kasi Kesra), anggota tikor masing-masing korcam PKH, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK), Kasi Trantib kecamatan, dan kepala desa.

”Supplier tidak berhak terlibat dalam rapat itu. Sebetulnya, istilah supplier itu tidak ada di program ini karena semestinya e-warong setiap hari memang berjualan sembako. Dan KPM itu boleh mengambil kapan saja, tidak dijadwal seperti sekarang dan diarahkan. Yang pasti, setiap bulan dijatah Rp 200 ribu,” ujar sumber Jawa Pos.

Seperti pernah diberitakan, hasil penelurusan tim Jawa Pos di beberapa wilayah, ada aroma tidak sedap dalam penyaluran BPNT di masa pandemi Covid-19. Mulai distribusi sembako yang sudah dalam bentuk paketan, ada selisih harga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu dalam setiap paket, temuan komoditas tidak layak, agen atau e-warong sebatas papan nama alias tidak sesuai pedoman Kemensos, hingga kartu kesehjahteraan sosial (KKS) bersaldo nol rupiah.

Khusus soal temuan margin atau selisih harga paket sembako tentu saja merugikan para KPM. Seharusnya, dengan uang Rp 200 ribu, mereka mendapatkan sembako yang setara. Namun, faktanya berkurang. Kalau dijumlah, potensi kerugian itu lumayan besar.

Jangan Keterlaluan Mencari Untung

Kasus selisih harga dalam program sembako atau bantuan pangan nontunai (BPNT) diakui Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Gresik Sulyono. Bidang di bawah kendali Sulyono itulah yang menangani program BPNT. Mulai data keluarga penerima manfaat (KPM), pengawasan agen, hingga laporan berkala program Kemensos tersebut.

Rabu (15/7) Sulyono mengaku kewalahan dalam menyelesaikan sejumlah kendala atau permasalahan BPNT. Sebab, dia menilai program itu menerapkan ”pasar bebas”. Permasalahan pun berbeda-beda di tingkat kecamatan. Seperti hukum dagang, ada transaksi antara agen dan KPM. Apalagi, para agen bebas memilih penyedia barang atau supplier untuk mencukupi kebutuhan KPM.

Sulyono tidak menampik adanya disparitas bantuan antar kecamatan. Baik dalam hal kualitas maupun kuantitas sembako. ”Meskipun ini bantuan sosial, dalam praktiknya menerapakan sistem pasar bebas,” ungkapnya.

Karena itu, lanjut dia, para agen diperbolehkan untuk mengambil keuntungan yang wajar. ”Tapi, kami selalu mengimbau kepada agen, ojo nemen-nemen nggolek bathi (jangan keterlaluan mencari untung, Red). Setidaknya tidak jauh berbeda dari harga eceran tertinggi (HET) yang diterbitkan dinas perdagangan,” katanya.

Dia menyatakan, sebelum distribusi BPNT, selalu dilaksanakan rapat di tingkat kecamatan. Rapat itu membahas jenis bantuan yang dibutuhkan. ”Disepakati bersama, bahkan ada jaminan bagi KPM jika barang tidak sesuai kesepakatan, bisa dikembalikan kepada agen ataupun supplier,” tuturnya.

Dari pengawasan yang dilakukan dinsos, dia tidak menampik adanya sejumlah agen yang ”kulakan” barang dari luar Gresik. Dia menyatakan, mungkin itu salah satu yang membuat selisih harganya tinggi. ’’Kami pun sering memperingatkan untuk mencari supplier yang lebih terjangkau. Memprioritaskan di wilayah Gresik,” paparnya.

Ditanya soal jumlah supplier dan agen di Gresik, Sulyono mengaku tidak mengetahui secara persis. ”Yang jelas banyak, bahkan ada yang dari luar daerah. Nanti segera kami koordinasikan bersama korda (koordinator daerah). Dia (korda) yang tahu persis,” ucapnya.

Sebelumnya, Korda BPNT Gresik Suwanto juga mengaku tidak tahu persis nama-nama supplier pada program BPNT di Gresik. Yang jelas, pihaknya mengusulkan agar ada aturan tentang supplier sehingga kualitas barang dan bantuan bisa seragam atau tidak berbeda-beda.

Agen Kurang, tapi Belum Ditambah

Sejatinya, bantuan pangan nontunai (BPNT) bukan program baru. Sudah berjalan beberapa tahun. Program itu merupakan penyempurnaan dari program beras untuk keluarga miskin (raskin). Para keluarga penerima manfaat (KPM) tidak hanya mendapat beras. Tapi, juga sayur, buah, ikan, dan komoditas sejenisnya.

Pada masa pandemi Covid-19, Presiden Jokowi melalui Kemensos menambah alokasi anggaran per KPM. Dari awal Januari Rp 150 ribu per orang, sejak masa pandemi naik menjadi Rp 200 ribu. Karena sudah lama, sebetulnya memungkinkan adanya evaluasi dan perbaikan-perbaikan. Ternyata, fakta di lapangan, masih banyak kendala dan masalah.

Masalah ketersediaan agen atau e-warong sebagai tempat pembelanjaan sembako misalnya. Sejauh ini di Kabupaten Gresik hanya tersedia 224 agen.

Mayoritas kecamatan kekurangan agen. Namun, hingga kini tak kunjung ada solusi untuk persoalan itu. Indikasi adanya permainan di balik jumlah dan ketersediaan agen pun mengemuka.

Apakah sulit menjadi agen? Sebetulnya, menjadi agen atau e-warong itu relatif mudah. Sesuai pedoman umum (pedum) penyaluran BPNT Kemensos, syaratnya antara lain memiliki integritas, reputasi, dan kredibilitas di wilayah operasional. Lalu, memiliki sumber penghasilan utama dari usaha yang sudah berjalan, menjual bahan pangan sesuai harga pasar, dan memiliki pemasok yang dapat diandal_kan.

Ketua Tim Koordinasi (Tikor) Kedamean Gunawan ketika dikonfirmasi tidak menampik minimnya ketersediaan agen di kecamatannya. Hanya ada sembilan agen dengan jumlah yang dilayani 15 desa. ”Kurang. Seharusnya, satu desa satu,” ungkapnya kemarin.

Kenapa tidak ada penambahan? Pria yang juga sekertaris kecamatan (Sekcam) Kedamean itu mengatakan, penambahan agen itu berdasar rekomendasi dari kepala desa (Kades). Lalu, diajukan ke bank penyalur. ”Kalau tidak memiliki ID EDC (mesin atau alat penerima pembayaran yang dapat menghubungkan antar rekening bank, Red) tidak bisa,” katanya.

Sebelumnya, hasil penelusuran tim Jawa Pos mengungkap, penyaluran BPNT sejauh ini banyak dilaksanakan di balai desa. Bukan di agen atau e-warong sesuai pedoman umum Kemensos. Padahal, tujuan penyaluran di e-warong adalah menggerakkan ekonomi kerakyatan bagi para pelaku usaha kecil di wilayah-wilayah terdekat. Temuan lain, ada beberapa agen bukan pelaku usaha dan bukan mengajukan, melainkan atas dasar kenal dengan orang-orang tertentu. 

Saksikan video menarik berikut ini:


Dugaan Penyimpangan BPNT Gresik: Ada Nama Lisa di Supplier Besar