Pengamat: Ingin Maju, Pemerintah (Daerah) Sebaiknya Bersifat Egaliter

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pengamat: Ingin Maju, Pemerintah (Daerah) Sebaiknya Bersifat Egaliter


JawaPos.com – Pemerintah Kota Medan menghadapi banyak pekerjaan rumah (PR) untuk memajukan daerah tersebut. Berkaca dari pengalaman, tiga kali wali kotanya terseret korupsi. Akibatnya, program pembangunan tidak berjalan maksimal.

Supaya kesalahan serupa tidak terulang, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-Sumut) Faisal Riza, pemerintah daerah harus menerapkan sifat egaliter. Artinya ada kolobarasi antara pemerintah dengan masyarakatnya dalam mengambil keputusan.

Collaborative government itu artinya pemerintahan (daerah) harus bersifat egaliter. Pemerintah akan banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang memang dampaknya untuk masyarakat itu sendiri,” ujar Faisal Riza kepada wartawan di Medan, Minggu (19/7).

Lebih jauh Faisal Riza menuturkan, collaborative government atau pemerintahan kolaboratif adalah membuka selebar-lebarnya ruang untuk menampung aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam kerja-kerja pembangunan. Muaranya untuk kebaikan bersama.

“Dalam bahasa UUD (undang-undang dasar), memajukan kesejahteraan umum. Di barat disebut public good, di latin namanya bonum publicum, dan dalam Islam namanya maslahah ar raiyyah. Kemaslahatan rakyat,” paparnya.

Sementara pemerintahan model lama, lanjut dia, menerapkan pola pemerintahan dengan corak tidak peka. Contoh paling nyata perlakuan pemerintah daerah, termasuk Medan, terhadap rekomendasi-rekomendasi musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). Rekomendasi musrenbang kerap diabaikan. Dampaknya, musrenbang itu sendiri akhirnya hanya lips service atau sekadar formalitas.

Diketahui, musrenbang merupakan sebuah sistem perencanaan pembangunan dengan alur dari bawah ke atas (bottom up). Tujuannya, arah pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dia mencontohkan yang terjadi di Medan. Rekomendasi pembangunan dari musrenbang tingkat kelurahan nyaris tidak pernah diimplementasikan. Alasannya klasik, keterbatasan dana. “Kita harus mengubah pemikiran ini dengan konsep collaborative government,” tukas Faisal Riza.

Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan juga berpendapat serupa. Menurut Dadang, pemerintahan kolaboratif sangat tepat diberlakukan. “Pembangunan di manapun mestinya lahir dari kebutuhan masyarakat, kebutuhan dari banyak pihak. Bukan merupakan rancangan eksklusif pemerintah belaka, sebagaimana yang terjadi selama ini,” kata Dadang.

Menurutnya, sulit dibayangkan adanya perubahan, jika pemerintah tetap berpikir top down dan tertutup dari publik. Padahal, dari dulu selalu didengungkan pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembangunan, baik sejak perencanaan maupun pelaksanaan.

Dadang mengatakan, Kota Medan saat ini menghadapi masalah yang sangat kompleks. Situasi seperti membutuhkan solusi dan kerja keras semua pihak. “Jika Bobby Nasution mau menerapkan pola ini, maka jangan hanya statement politik menjelang Pilkada saja. Harus ada komitmen yang jelas,” saran Dadang.

Sebagaimana diketahui, tiga wali kota Medan periode kerap terseret korupsi. Ketiganya adalah Abdillah periode 2005-2010. Dia terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyalagunaan APBD dan dihukum empat tahun penjara. Kedua, Rahudman Harahap, wali kota periode 2010-2015.

Ketiga, Dzulmi Eldin, wali kota Medan periode 2015-2020. Dia terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Atas perbuatan, Dzulmi Eldin dihukum enam tahun pidana penjara dikurangi masa tahanan.

Pada Kamis (16/7) lalu dia baru saja dieksekusi jaksa ke Lapas Tanjung Gusta, Medan. Eksekusi itu dilakukan setelah perkara suap terkait proyek dan jabatan di lingkungan pemerintahan Kota Medan tahun anggaran 2019 yang menjerat Dzulmi Eldin telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.


Pengamat: Ingin Maju, Pemerintah (Daerah) Sebaiknya Bersifat Egaliter