Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi Abadi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi Abadi


SAPARDI DJOKO DAMONO
20 Maret 1940–19 Juli 2020

JawaPos.com – Di sini, tak ada hujan pagi ini, Pak Sapardi. Barangkali karena Juli tak setabah Juni.

Jadi, apakah duka kami terdengar sampai ke tempatmu di sana? Setelah tangis, doa, dan kenangan meriung begitu kabar duka dari Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan, itu menguar kemarin.

”Dirawat sejak 9 Juli lalu, Bapak mengalami komplikasi yang terjadi karena campuran berbagai kegagalan organ,” terang Tatyana Soebianto, salah seorang mantan mahasiswamu, Pak Sapardi.

Komplikasi, kegagalan organ. Begitu terasa jauh semua itu dari hujan, angin, matahari yang biasa terangkai dalam sajak-sajakmu, Pak.

Tapi, bukankah mencintai air harus menjadi ricik? Mencintai gunung harus menjadi terjal? Dan, mencintai api harus menjadi jilat?

Pada setiap tubuh yang beranjak menua, ada kehendak alam yang tak bisa dilawan.

Bahkan untuk sosok yang senantiasa mengerahkan semua indra untuk menangkap pesan-pesan alam seperti Panjenengan, Pak. Yang pernah mengingatkan, jangan sekali-kali berkhianat kepada sungai, ladang, dan batu.

”Beliau penyair yang antara gagasan dan isi sangat seimbang. Gaya bahasa, diksi, metafora selaras dengan kontennya,” kata sastrawan Budi Darma tentang Panjenengan, Pak Sapardi.

Coba Anda lihat, kata Budi lagi, puisi-puisi yang banyak bertebaran sekarang. ”Anda akan langsung merasakan betapa kuatnya pengaruh Pak Sapardi di sana.”

Joko Pinurbo, penyair ”Celana” itu, seperti diakui sendiri, adalah salah satunya. Meski kemudian Jokpin, demikian dia biasa disapa, bisa menemukan gayanya sendiri yang jenaka.

Mungkin karena Anda, Pak Sapardi, dalam bahasa sastrawan Eka Kurniawan, sudah melampaui taraf duniawi. Sudah tak risau dengan perkara ”bagus atau jelek”, ”estetik atau tidak”, ”laku-tidak laku”. ”Beliau sudah lulus dengan urusan-urusan seperti itu,” kata Eka.

Ada sikap sumeleh di sana. ”Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,” tulis Anda, Pak Sapardi, suatu kali.

Jadi, di Pemakaman Giri Tama, Giri Tonjong, Kabupaten Bogor, itu, setelah seremoni yang khidmat, izinkan kami, Pak, untuk mengenang Panjenengan sebagai selembar daun. Yang kali ini bisa berbaring tenang tanpa khawatir tersepak sapu penjaga taman.

Entah untuk menikmati hujan bulan Juni. Memahami isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan. Atau bagaimana meletakkan kenangan di dalam laci meja.

Sementara waktu akan terus berlalu, tak mengapa. Karena waktu itu fana, Anda yang abadi, Pak Sapardi.

Yang Menjadi Saksi Bersatunya Hati

ENTAH sudah berapa ribu hati yang tersatukan, entah sudah berapa ribu pernikahan tersaksikan, dengan perantaraan dua di antara begitu banyak karya Sapardi Djoko Damono ini.

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

 

 


Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi Abadi