Peringati Hari Kartini, Berharap Feminisme Tak Lagi jadi Perdebatan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Peringati Hari Kartini, Berharap Feminisme Tak Lagi jadi Perdebatan


JawaPos.com – Dalam rangka memperingati hari Kartini, Tunas Indonesia Raya (TIDAR) sayap organisasi partai Gerindra mengadakan event RADAR (Ragam Aktualisasi Tidar), menggelar diskusi virtual yang bertujuan untuk mengingatkan kembali mengenai feminisme Kartini.

Sosok Kartini tergambar sebagai wanita tangguh yang tak kenal takut mengutarakan ketidakadilan. Namun, saat ini ada pihak yang keliru mengartikan feminisme. Padahal, feminisme adalah gerakan emansipasi wanita yang berkembang sejak abad ke-18, saat dimulai tuntutan persamaan hak politik, ekonomi, budaya dan ruang publik. Feminisme bukan ideologi yang menebar kebencian pada kaum pria.

“Yang pertama kalau kita bicara tentang Kartini kita sebenarnya merayakan feminis sejati Indonesia ya, banyak yang saya rasa mulai keliru tentang pemahaman kata feminisme,” kata Ketua Bidang Pengembangan Peranan Perempuan TIDAR Rahayu Saraswati, dalam keterangannya, Sabtu (24/4).

Menurut Sara panggilan akrab Rahayu Saraswati, kekeliruan arti dari feminisme sendiri semakin kuat dari pembahasan RUU tentang penghapusan kekerasan seksual (PKS). Dari sini muncul perdebatan mengenai feminisme.

“Sayangnya sampai sekarang ini masih menjadi perdebatan karena kembali lagi ada mulai perbedaan persepsi yang mungkin bisa kita katakan lupa tentang perjuangan Kartini, kalau misalkan mengerti perjuangan Kartini menyatakan dia adalah pahlawan nasional kita,” kata dia.

Untuk itu, dia berharap feminisme tidak lagi menjadi perdebatan. Karena feminisme pada ujungnya, pada hakekatnya adalah pemikiran atau kesepakatan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

“Hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk bisa bekerja, hak untuk melakukan hal-hal yang mungkin berbeda dan bertolak belakang dari budayanya,” ungkapnya.

Dalam kesempatan ini dia mengatakan, ada sejumlah tantangan besar dalam mencapai tujuan ini. Antara lain soal ada keterwakilan perempuan di sejumlah lini seperti pemerintahan dan sebuah organisasi. Sebab, arti feminisme sendiri saja masih menjadi perdebatan. Padahal feminisme sendiri itu adalah kesamaan tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki.

“Kalau sistemnya itu tidak memberikan ruang adanya keterwakilan perempuan tersebut itu di swasta maupun juga di pemerintahan sudah pasti dengan sendirinya akan mempersulit adanya perempuan untuk naik kelas,” tuturnya.

Selain itu, sempitnya ruang perempuan dalam mendapatkan pendidikan juga menjadi salah satu tantangan soal kesamaan hak. Untuk itu dia berharap ke depan hal ini tidak terjadi lagi.

Apalagi pemerintah tengah mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan. Hal itu mengingat faktanya, sejak pemilihan umum (Pemilu) 2004 lalu, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30 persen.

“Kalau misalkan mau ada keterwakilan perempuan tapi perempuan tidak berpendidikan kan tidak bisa. Padahal rasio kependudukan di Indonesia itu beda tipis 50,9 persen laki-laki, 49 persen perempuan artinya hampir sama,” pungkasnya.


Peringati Hari Kartini, Berharap Feminisme Tak Lagi jadi Perdebatan