Tidak Ada Pengajuan Pembaruan Red Notice Djoko Tjandra Sejak 2014

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tidak Ada Pengajuan Pembaruan Red Notice Djoko Tjandra Sejak 2014


JawaPos.com – Kasus Djoko Tjandra terus menyeret beberapa nama jenderal polisi. Selain Brigjen Prasetijo Utomo yang telah dicopot dari kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, kemarin (17/7) ada dua jenderal lagi yang diberhentikan dari jabatannya.

Yakni, Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Brigjen Nugroho Wibowo. Pencopotan keduanya diduga merupakan akibat dari red notice Djoko Tjandra yang terhapus sistem Interpol pusat.

Sesuai dengan Telegram Kapolri Nomor ST/2076/VII/KEP./2020 tertanggal 17 Juli 2020, Irjen Napoleon Bonaparte dimutasi menjadi analis kebijakan utama Itwasum Polri. Posisinya diisi Brigjen Johanis Asadoma. Lalu, Brigjen Nugroho Wibowo dipindah menjadi analis kebijakan utama Lemdiklat Polri. Posisinya digantikan Brigjen Amur Juanda Juli Buana.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Awi Setiyono membenarkan adanya mutasi dua perwira tinggi tersebut. ”Iya, sesuai dengan telegram Kapolri ya,” ujarnya kepada Jawa Pos tadi malam. Soal dugaan pelanggaran dalam terhapusnya red notice Djoko Tjandra, Kadivhumas Polri Irjen Argo Yuwono menjelaskan bahwa sekretaris NCB Interpol memang dalam proses kode etik di divpropam.

Sesuai temuan divpropam, ada kewenangan yang seharusnya dilaporkan ke pimpinan, tapi ternyata tidak dilaporkan. ”Dari propam sudah minta keterangannya,” ucap dia. Namun, Argo tidak memberikan penjelasan tentang Irjen Napoleon yang juga dicopot.

Argo lalu menjelaskan regulasi red notice. Menurut dia, red notice di Interpol pusat yang berada di Lyon, Prancis, itu biasa disebut file. Yang ditujukan untuk pencarian buron. ”Khusus Djoko Tjandra itu red notice diajukan pada 2009,” ungkapnya.

Pengajuan red notice harus memenuhi berbagai syarat. Antara lain surat penangkapan, sidik jari, dan bukti perlintasan. Kemudian, dilakukan gelar perkara di Bareskrim. ”Untuk melihat seberapa jauh peran buron ini dalam sebuah kasus,” jelasnya.

Setelah gelar perkara, Interpol Indonesia mengajukan red notice ke Interpol pusat. Yang kemudian disebar Interpol pusat ke semua negara anggota Interpol. Regulasinya, red notice itu memiliki batas waktu lima tahun setelah diajukan. ”Untuk batas waktu lima tahun buron Djoko Tjandra itu pada 2014,” katanya.

Bila tidak diperbarui, akan dihapus oleh sistem Interpol pusat. Proses pembaruan tersebut seharusnya diajukan penyidik kasus yang menangani Djoko. Dalam hal ini diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menangani kasus itu. ”Harusnya penyidik yang tangani kasus minta ajukan red notice kembali,” tuturnya.

Mengapa pada 2014 (batas waktu) red notice Djoko Tjandra tidak diajukan kembali? Argo mengaku masih akan bertanya lagi soal itu. ”Lalu juga ada surat Interpol Indonesia ke Dirjen Imigrasi. Surat itu bukan penghapusan red notice, melainkan surat penyampaian bahwa red notice Djoko Tjandra telah dihapus oleh sistem,” paparnya.

Dalam surat bernomor B/186/V/2020/NCB-Div HI tertanggal 5 Mei 2020 disebutkan, red notice Djoko Tjandra telah terhapus sejak 2014 oleh sistem basis Interpol. Penyebabnya, tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejagung.

Dalam surat itu juga disebutkan adanya rujukan surat Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, pada 16 April 2020 untuk pencabutan red notice. Dengan begitu dapat diartikan, jauh sebelum surat permintaan pencabutan red notice oleh Anna, red notice Djoko telah terhapus.

Argo mengatakan, pada 2015 ada isu Djoko terpantau di Papua Nugini. Saat itu divhubinter mengirimkan surat permintaan agar Djoko dimasukkan daftar pencarian orang (DPO) dan dilakukan tindakan pengamanan bila mendeteksi keberadaannya. ”Jadi agar memasukkan Djoko Tjandra ke DPO Ditjen Imigrasi,” terangnya.

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menjelaskan, dalam kasus tersebut ada komunikasi yang tidak baik antarlembaga. Baik Kejagung dengan Polri maupun Polri dengan Ditjen Imigrasi. ”Seharusnya saling menanyakan antara lembaga,” paparnya.

Polri seharusnya tidak hanya menunggu pengajuan dari Kejagung. Akan lebih baik bila jemput bola ke Kejagung soal buron Djoko Tjandra. ”Jemput bola, kenapa red notice tidak diperbarui,” terangnya.

Yang juga penting, bisa jadi batas waktu red notice itu memang celah yang sengaja dimanfaatkan. Tidak tertutup kemungkinan ada gratifikasi dalam kejadian tersebut. ”Siapa itu, harus diusut tuntas,” tegasnya. Polri juga harus berkaca karena sistemnya tidak bisa mendeteksi hal semacam itu. ”Agar tidak terulang ke kasus lainnya,” terangnya.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menuturkan, mungkin koordinasi antara Kejagung dan Polri kurang. Hal itu terlihat dari red notice yang tidak diajukan lagi setelah batas waktu lima tahun. ”Seharusnya pihak yang meminta menahan itulah yang mengajukan kembali. Bukan Interpol Indonesia,” urainya. Karena itu, alangkah bijaknya bila semua melakukan introspeksi. Dengan begitu, tidak terulang lagi red notice yang kedaluwarsa. ”Begitu seharusnya,” paparnya.

Rapat DPR Belum Pasti

Sementara itu, di internal DPR terjadi pro-kontra terkait rencana rapat gabungan yang akan membahas kasus Djoko Tjandra. Ketua Komisi III Herman Herry mengatakan, komisinya belum mendapat kepastian soal rencana rapat gabungan dengan aparat penegak hukum. Yakni, Kabareskrim, Jampidum, dan Dirjen Imigrasi. Sebab, surat izin rapat gabungan masih tertahan di meja Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Azis Syamsuddin.

Herman menyatakan, surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pengawasan terhadap mitra kerja telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7). Menurut dia, surat izin untuk menggelar RDP saat masa reses dilayangkan setelah komisi III menerima dokumen berupa surat jalan buron Djoko Tjandra dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) pada Selasa (14/7).

Komisi III menganggap kasus itu bersifat superurgen. ”Sehingga berdasarkan mekanisme tatib DPR, kami harus meminta izin kepada pimpinan DPR,” terangnya. Namun, lanjut Herman, sampai saat ini surat tersebut tidak ditandatangani Azis Syamsuddin. Padahal, Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya telah mengizinkan dan menyetujui RDP yang rencananya digelar pada Selasa (21/7).

Setelah memberikan izin dan menyetujui rencana RDP, Puan mendisposisi izin tersebut kepada wakil DPR bidang korpolkam yang dijabat Azis. Menurut informasi terakhir dari sekretariat, surat tersebut tidak ditandatangani Azis karena ada putusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang melarang RDP pengawasan oleh komisi pada masa reses. ”Sampai saat ini saya juga masih menunggu untuk melihat salinan putusan bamus tersebut,” tandas politikus PDIP itu. Herman menegaskan, komisi III tetap berkomitmen untuk terus mengawasi aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus buron Djoko Tjandra.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

 

 


Tidak Ada Pengajuan Pembaruan Red Notice Djoko Tjandra Sejak 2014