Tim Advokasi Novel Laporkan Irjen Rudy Heriyanto ke Propam Polri

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tim Advokasi Novel Laporkan Irjen Rudy Heriyanto ke Propam Polri


JawaPos.com – Tim advokasi Novel Baswedan melaporkan mantan Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya, Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri. Tim advokasi menilai, Rudy melanggar etik profesi karena diduga menghilangkan barang bukti pada kasus penyiraman air keras.

“Tim Advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi, karena menghilangkan barang bukti dalam perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan,” kata anggota tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan persnya, Rabu (8/7).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) ini menjelaskan, sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri, Irjen Rudy Heriyanto merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel. Saat itu dia berpangkat Komisaris Besar (Kombes) dan menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

“Segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya,” beber Kurnia.

Dugaan pelanggaran kode etik yang dimaksud oleh tim advokasi Novel, mengenai sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan diduga hilang. Menurut Kurnia, pada 17 April 2019 Kabid Humas Polda Metro Jaya, yang pada kala itu dijabat oleh Irjen Argo Yuwono menyampaikan, bahwa tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.

Akan tetapi, Kurnia mengungkapkan, berdasarkan pengakuan dari korban atau pun para saksi, gelas tersebut ditemukan oleh kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekitar pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri. Dengan demikian, Kurnia berpandangan, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu.

“Selain itu, botol dan gelas yang digunakan oleh pelaku pun tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara ini,” sesal Kurnia.

Kurnia menyebut, dalam perkembangan penanganan perkara diduga ada fakta yang disembunyikan oleh Kepolisian. Hal ini terkait dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang itu masih berada di markas Brimob. Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas.

Tim advokasi Novel pun mempersoalkan, CCTV di sekitar kediaman rumah korban tidak dijadikan barang bukti. Menurutnya, pada 10 Oktober 2017 yang lalu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Irjen Argo Yuwono menyampaikan bahwa kepolisian telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.

Namun, berdasarkan pengakuan korban dan saksi diketahui terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku akan tetapi tidak diambil oleh kepolisian. Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah korban diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.

“Definisi dari barang bukti sebenarnya mencakup benda-benda yang dapat memberikan keterangan bagi penyelidikan tindak pidana, baik berupa gambar ataupun rekaman suara. Selain itu, fungsi dari barang bukti juga sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang ditangani. Dapat simpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku,” beber Kurnia.

Kurnia pun menyebut, Cell Tower Dumps (CTD) tidak dimunculkan dalam penanganan perkara. Menurutnya, hal ini merupakan sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban. Namun dalam proses penanganan perkara, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian.

“Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular,” cetus Kurnia.

Tim advokasi Novel Baswedan pun menyesalkan minimnya penjelasan terkait baju gamin milik penyidik senior KPK itu. Kurnia berujar, pada persidangan 30 April 2020 majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh korban saat kejadian penyiraman air keras terjadi. Namun, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.

“Adapun menurut pengakuan dari kepolisian baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras. Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi. Dalam hal ini, korban tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya,” tukasnya.

Ketika dikornfirmasi terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengaku akan mengecek laporan Tim advokasi Novel Baswedan ke Propam Polri. “Nanti di cek yah,” tutur Argo kepada JawaPos.com.

Dia belum banyak menjelaskan detail soal dilaporkannya Kadivkum Polri, Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Propam Polri soal dugaan penghilangan barang bukti kasus penyiraman air keras. “Nanti dilihat dulu laporannya,” pungkas Argo.


Tim Advokasi Novel Laporkan Irjen Rudy Heriyanto ke Propam Polri