Pakar Sebut Kasus SP3 Rudapaksa di Luwu Timur Ada Dua Opsi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pakar Sebut Kasus SP3 Rudapaksa di Luwu Timur Ada Dua Opsi


JawaPos.com–Pakar Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar menyatakan, ada dua opsi penanganan dugaan kasus rudapaksa tiga anak kandung oleh ayahnya agar bisa berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Kasus tersebut sudah dihentikan di Kabupaten Luwu Timur.

”Apa tindak lanjut ketika dihentikan, ada dua opsi. Yakni para pihak yang merasa dirugikan, pelapor atau keluarganya atau pihak ketiga, bisa mengajukan praperadilan,” kata Pakar Pidana dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Hambali Talib seperti dilansir dari Antara di Makassar.

Dia menjelaskan, untuk opsi praperadilan yang diatur KUHP memberi ruang kepada pihak yang dirugikan terhadap penghentian penyidikan. Untuk menguji sah tidaknya ketetapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) itu melalui pengadilan negeri setempat.

Sedangkan pintu darurat atau opsi kedua, kata dia, apabila pihak yang dirugikan merasa ada proses tidak fair, maupun ada kekurangan yang perlu diuji, bisa juga suatu waktu dibuka penghentian penyidikan itu. Pihak yang dirugikan mengajukan bukti baru yang bisa diuji dan nanti pihak penyidik memprakarsai untuk melakukan gelar perkara.

”Gelar perkara ini menentukan layak tidaknya dibuka penghentian penyidikan dilanjutkan atau tidak,” ujar Hambali Talib, Guru Besar UMI Makassar itu.

Ditanyakan mengenai argumentasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar selaku pendamping hukum, menilai SP3 itu ada dugaan maladminstrasi, menurut Hambali Talib, itu bisa diuji.

”Kalau LBH merasa penerapan SP3 itu prematur ada kejanggalan, munculkan bukti baru, diajukan kepada penyidikan, kemudian bisa membuka gelar perkara baru. gelar perkara ini sifatnya gelar perkara khusus,” tutur Hambali Talib.

Gelar perkara khusus, ungkap dia, sesuai Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 terkait proses penyelidikan, bila dianggap itu perlu dievaluasi bisa digelar perkara khusus. Biasanya tim dari kepolisian daerah (polda) yang mengambil alih terhadap kasus tersebut.

”Biasanya itu polda yang ambil alih. Karena bukan dinyatakan salah atau benar gelar perkara yang pernah ada, tapi juga mau diuji. Bukti baru diajukan pihak yang mewakili kepentingan korban,” ujar Hambali Talib.

Hambali menilai, idealnya saat dihentikan kasusnya pada 2019 dan ada pihak merasa dirugikan, pada saat itu juga mengajukan praperadilan. Tapi dalam undang-undang yang dia pahami, tidak ada batas waktu batas pengajuan praperadilan.

”Sehingga, ada dua opsi, diajukan praperadilan dengan alasan bukti baru atau mengajukan bukti baru itu melalui gelar perkara yang dibuka kembali untuk menguji SP3 itu,” papar Hambali Talib.

Hambali menyatakan, dalam KUHP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, jelas mengatur penghentian penyidikan. Itu merupakan kewenangan melekat kepada penyidik maupun penuntut umum di kejaksaan, kalau itu dalam proses penuntutan.

Alasan penghentian penyidik itu salah satunya tidak menemukan alat bukti yang cukup untuk diteruskan. Dalam aturan, disebutkan minimal dua alat bukti untuk menetapkan orang sebagai tersangka, dilanjutkan perkaranya sesuai pasal 184 KUHP.

”Dan apabila tidak terpenuhi, ada kewenangan melekat pada penyidik untuk menghentikan penyidikan. Tapi perlu diingat, minimal ada laporan ke penuntut umum, sebab perkara awal disidik. Laporan itu sudah ada di penuntut umum. Di luar itu, bisa dikroscek apakah polisi jalan sendiri atau sudah ada laporan di situ (kejaksaan),” ucap Hambali Talib.

Sebelumnya, terlapor berinisial SA dilaporkan mantan istrinya atas dugaan rudapaksa atau pencabulan dan pemerkosaan terhadap tiga anaknya, berinisial AL, MR, dan AL pada 2019 lalu. Setelah gelar perkara berdasar hasil visum para korban, penyidik berdalih tidak ditemukan tanda kerusakan pada organ seksual mereka, sehingga dikeluarkan SP3 pada 10 Desember 2019.

Hingga akhirnya, ibu para korban mencari keadilan ke Makassar dan meminta bantuan pendampingan hukum dari LBH Makassar serta TP2TPA Makassar, karena merasa diabaikan polres dan Dinas PPA Luwu Timur. Saat gelar perkara kedua di Polda Sulsel pada Maret 2020, hasilnya juga sama. Alat bukti foto memar dan rusak organ seksual para korban yang diserahkan tidak dinilai sebagai alat bukti.

Tim pendamping hukum LBH berharap kasus itu dibuka kembali, karena penting bagi pelapor agar ada kepastian hukum dalam kasus tersebut. Selain itu, pihaknya membutuhkan surat pemberitahuan secara resmi dari Polri terkait pembukaan kembali kasus itu setelah kembali mencuat pada Oktober 2021.


Pakar Sebut Kasus SP3 Rudapaksa di Luwu Timur Ada Dua Opsi